Cari Blog Ini

Sebuah Cerita Untuk Tita

Hari libur adalah hari yang pas untuk sekedar mencari suasana indah kota kairo, terutama pagi hari dimana mata-mata masihlah banyak yang tertutup bermanja-manja dengan ranjang. Tubuh mendadak ingin mencari hangat setelah melihat sepeda didalam rumah berdiri seperti memanggil. Terbesit sesaat "menggayuhkan pedal sepeda dengan harap mempercepat jatung agar darah mengalir lancar tidak tersumbat, sehat sehat sehat.'' sugesti hati untuk berbuat. ''Bersepeda pagi!!'' mantapku. "Menyisir jalan sewaktu pagi disaat debu belumlah sempurna mengapung tertebas lajunya mobil, ataupun melayang tertiup angin, apalagi udara baru terbangun sayu-sayu terterobos laju sepeda dengan tubuh berkulitkan jaket coklat tua kain parasut, pasti sangatlah indah." batinku menambah sebuah opsi untuk mengikatkan tekad. Berharap dengan itu menunda tubuh agar tidak cepat bersatu menyatu menjadi tanah, setidaknya menyegarkan kesemangatan disaat garisan mutlak  penuh dengan tuntutan hidup menjadi baik. Menggayuhkan setiap kepergian dengan kesemangat sebagai pembuka hari.



"Ayo Aditya gandeng pagimu menyambut mentari" ucapku sebelum sepeda tergayuh melesat kedepan. Mata sudah tidak lagi tersayupkan keheningan diteduh pagi.


Beranjak menjauh kejalan besar menemukan tempat jauh lagi sepi, suasana yang memisahkan antara hidup dengan kebisingan, momen tersayang jika ditinggalkan begitu saja. Hal yang indah untuk diukir dalam pusaran hati. Banyak hal yang bisa terpandang dimana kekecilan dunia atas luas yang sebenarnya. 


Seorang kakek dipinggir jalan, disaat menggayuh santai dengan mata sayunya kami saling bertabrakan pandangan disaat itu. Wajah yang menyimpan suatu hal seperti sudah lama tergaris, gambarkku menjadi kuat disaat tangan kanannya melampai tepat kearahku sembari mengisyaratkan jari jemari menguncup didekatkan kemulutnya, sebuah isyarat salam yang membukakan hati kepadanya, terlintas sejenak untuk sekedar memberi sedikit rasa "setidaknya berbagi sepotong roti dipagi hari mungkin terasa indah" pikirku waktu itu. 


Aku masuh terus lurus berjalan, aku menolehkan muka kearahnya setelah menjauh dan ternyata masih melihatku dengan seksama, seperti menaruhkan sedikit harapan. Pagi itu tidaklah ada persiapan lebih seperti membawa beberapa keping uang untuk sekedar sarapan ataupun sekedar membeli air. Aku memutuskan untuk berbalik arah menuju kerumah, setelah hati terasa ingin berbuat sesuatu, Aku berputar dengan cepat melewati kakek tua masih dengan tatapan yang sama dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum, karena hanya itu yang aku bawa saat itu yang bisa aku berikan. Sang kakek membalasiku dengan senyum, bergegas aku lajukan cepat menuju rumah. Sesampainya dirumah kutuju gantungan baju dibalik pintu kamar, mengambil beberapa sisa uang didalam saku celana jeans yang aku pakai tadi malam, beruntung masih terhitung 5 LE disaku. Aku kembali turun, menuju toko roti pas dibawah rumahku Aku beli 2 potong roti rasa coklat dan rasa keju, langsung kuraih kembali sepeda yang aku pakirkan tepat didepan toko roti itu, melesat cepat menuju kakek dengan senyum manis masih tergambar berseri-seri diatas bayang. Aku kembali ketempat semula dimana kami bertemu, tapi tidak terlihat, akhirnya kuputuskan untuk memutar mengelilingi komplek tersebut. 5 menit sudah berputar Aku temukan kakek tua sedang menyegarkan dirinya atau mungkin untuk menunda lapar yang sepertinya Ia rasakan. Ku tunggu di serambi masjid dengan latar tempat wudhu yang terbuka, menikmati duduk diatas beton trotoar jalan kujadikan kursi. Menunggu kakek tua bersalam dengan masjid Al Fatah tertuntun dua rakaat shalat terlihat dari tempat dudukku waktu itu. Dia keluar dari masjid dengan menenteng sandal lusuh dari kulit yang berbeda warna, dengan tatapan sama sembari tersenyum melihatku duduk, ku balas dengan berdiri mengahadap sang kakek tua bergegas menghampirinya dengan sepeda tertuntun kearahnya.


"Assalamu'alaikum kek?" sembari kusodorkan tangan kearahnya mengharapkan sebuah jabatan salam tangan untuk membuka cerita.


"Wa'alaikum salam nak, bukankah tadi terlihat ingin berolahraga pagi dengan sepeda itu?" sambil membalas jabatan tangan yang aku berikan dia bertanya.


''Iya kek, benar tadi hanya sekedar ingin mencari suasana pagi diluar rumah, mari kita duduk kek?'' 


"baiklah kalau itu maumu?'' masih dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya terbalut rapi menghangat bersama pagi disaat mentari sudah terbangun sehingga pagi sudah bisa terbilang putih.


"namaku aditya rahman kek, datang kesini tidak lebih untuk mencari ilmu di negri para nabi ini, dan ini ada sedikit roti untuk sarapan pagi ini dari Allah kek."


"Abdu Rahman, semoga rahmat Allah selalu ada bersamamu dan namaku Ahmad, Alhamdulillah, nak kamu sudah sarapan untuk pagi ini?"


''Namaku Aditya kek bukan 'Abdu, Amin semoga Allah membuka setiap rahmat bagi setiap hambaNya, saya nanti saja kek makannya, silahkan kakek saja yang makan". Orang mesir memang sering sekali jika berkenalan denganku telinga mereka menangkapnya Abdu Rahman, walaupun sudah susah payah aku mengenalkan dan mengeja setiap kata dari nama depanku, sudahlah yang terpenting setidaknya nama Rahman tidak salah terucap, aku sambil kututup dengan senyuman meyakinkan kakek ahmad.


"Jika berbicara soal rasa, dari sekian roti banyaknya di toko, kakek boleh tau rasa apa yang kamu sukai nak?''


''Saya suka rasa keju dan rasa coklat kalau kakek suka rasa apa?'' 


''Ini nak, kita bagi dua dan nikmati bersama aku setengah roti coklat dan setengahnya lagi untukmu, begitu juga yang keju.''  Tiba-tiba kakek mengambil 2 roti itu dan memotongnya masing-masing terpotong menjadi dua bagian,   


Ia menyerahkan setiap bagian rasa untukku, menawarkan agar bisa merasakan roti keju dan coklat terhitung adil, walaupun sangatlah sepele pikirku, tapi cukup terkejut dengan hal yang diberikan kakek ahmad saat itu.


"kamu juga belum sarapan kan?" sambung kakek dan aku mengangguk tersenyum.


Ditengah sarapan dibawah ranumnya sinar matahari dipagi itu dibawah langi afrika utara, Aku memberanikan diri dengan menanyakan kabarnya sedikit, sesaat aku anggap sedang bersama-sama Almarhum kakekku. Dari cara kakek ahmad mengawali perkenalan sangatlah cepat untuk merapat akrab mengisi setiap pundi-pundi kerinduan menjadi sedikit demi sedikit menghilang, kerinduan kerabat tua dirumah jauh disana.


Kakek Ahmad bin Muhammad, 7 November 1942 merupakan awal beliau menyambut hidup dengan Iskandariah menjadi kampung halamannya. Cerita kecil dimana masa perang masihlah berkecamuk atas israel yang berusaha merebut sebagian wilayah mesir dan beberapa daerah arab pada waktu itu, kalau di mesir salah satunya semenanjung sinai menjadi saksinya. Perang yang berkecamuk atas kekalahan mesir dan negara-negara arab atas israel dalam adu pesenjataan dan strategi, tetapi berbeda dengan politik disaat itu.  Mesir dan liga arab mengambil cara politik untuk bisa mengatasi kejahatan israel. (gambaran sedikit sejarah mesir yang aku ketahui) terhitung dia menyebutkan perang itu berlangsung dari tahun 1946 sampai 1957 disaat di umurnya yang ke 15 kakek ahmad bersama ayahnya menikmati berakhirnya perang walaupun dalam kekalahan ditahun 1957 walaupun hanya sementara, tahun dimana dia mulai tumbuh menjadi remaja untuk dewasa. Selain itu disaat matanya masihlah belum sepenuhnya matang terbuka." diumurnya yang ke 11 mesir terjadi pergantian sistem pemerintahan menjadi republik, pada tahun 1953, keputusan yang dikeluarkan Gamal Abdul Naser pemimpin mesir dikala itu.


"Nak, waktu itu sangatlah cepat berlalu, kakek masih ingat dimana sejarah itu sedang terukir,''  sedikit kutipan perkataannya ditengah cerita. Setidaknya dia pernah melihat sedikit ketenangan walau terpaku 3 tahun. ditahun 1960 disaat kakek berumur 18 tahun Ia dipertontonkan lagi dengan keadaan yang sama seperti sebelumnya suasana panasnya dunia arab dengan kaum zionis yahudi. Sekilas aku melihatnya tertampak gambaran tegas  dari setiap cara berbicara cerminan wajah sejarah masihlah melekat kuat, dengan penjelasan umum yang tertaut pasti.  situasi seperti inilah yang menjadikan kakek ahmad memiliki sosok kuat mental. Sampai di umurnya yang ke 30an dengan kegigihannya menjadikan dirinya tentara pembela negaranya dia menyebutnya dengan perang Tishrin. perang enam hari yang terjadi pada tanggal 6-26 oktober 1973 melawan pasukan israel dikala itu. serangkaian perang yang menyatukan bangsa-bangsa arab melawan israel dimana Mesir dan Suriah juga  yordania memimpin peperangan 6 hari tersebut. Singkatku dalam tulisan yang ingin aku ceritakan untukmu Tita Rosita, ini merupakan penggalan dari cerita agar alat pandangmu tidak terlalu lelah dalam membaca cerita ini.


Kakek Ahmad berhasil membawaku lebih dari berjalan-jalan dengan sepedaku dipagi ini, dimana aku berhasil terbawa ke era dimana rohku belumlah tertiup masuk kedalam jasadku saat itu. Cerita tentang perjuangan tentara tua ini, dihadapannya merupakan gubahan wawasan lebih dari sebuah dongeng. Selayaknya puisi berjalan, berita kemenangan dalam syair dia utarakan sehingga banyak penggalan yang terlupa dari memoriku untuk aku tuliskan disini, tapi terdengar jelas ditelingaku dengan mata yang tertuju kebibir kakek Ahmad menangkap setiap gerakan syair "Wahai Negriku wahai Negriku bla bla bla" suara serak basahnya menggetarkan setiap perjuangan gambaran manusia yang tidak takut mati.


"Kakek Ahmad, Anda seperti Kakekku di Indonesia sana, yang suka menggambarkan masa dulu dimana perjuangan mempertahankan kehormatan negara yang harus mau tak mau dibayarkan dengan nyawa." Aku memegang pundaknya sekilas bersama kata yang terlontar dari mulutku dengan tidak ada maksud untuk memujinya.


"Hahahaha rahman, hadirmu disini seperti halnya aku dianugerahkan sebuah cucu yang hadir atas kuasa Allah. Bismillahi Masya Allah, sollu 'alannabi wahai cucuku" . Ia memelukku dengan erat dan mencium dahiku.


"Alhamdulillah, Allahumma Shali 'ala Muhammad, Kakek tinggal dimana, mohon maaf kek adakah kerabat dekat saat ini?"


Kakek Ahmad terdiam sejenak, sepertinya Aku salah kurang menimbang atas pertanyaan yang aku ajukan kepadanya, tarikan nafas sedikit panjang dengan dada membusung gambaran sesak nafas tuanya terdengar.


"Cucuku rahman, Kamu adalah orang baik yang aku temui dihari ini. tidak ada yang pernah bertanya tentang hal ini kepadaku setelah 10 tahun ini" . Suasana berbeda dengan alur yang aku lalui bersamanya beberapa jam lalu.


"Sebentar kakek Ahmad, Saya akan mengambilkan segelas air untukmu" . 


Aku berdiri menuju mesin filterisasi air modern yang disiapkan khusus untuk air minum para jama'ah dimasjid tersebut, berada tepat disamping tempat wudhu. Aku mengambil gelas yang sudah tersiapkan disamping mesin itu, ku isi penuh gelas tersebut. Bergegas aku berikan kepada kakek Ahmad dengan senyuman lebar dengan harapan kesedihan hanya akan lewat sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.


"Terimakasih cucuku, duduklah dekat disampingku, Insya Allah akan kuceritakan kisah singkat didalam album kehidupanku selama ini, kenangan adalah hartaku satu-satunya yang bisa aku bagikan untukmu nak?" sebuah ulasan pendek tapi menjadikan diriku diam dingin.


"Aku pernah berkeluarga, Istri yang shalehah, cerdas selalu cantik didepanku, mengobati setiap lelah setelah letih bekerja yang mencintaiku sepenuh hatinya setulus api dengan panasnya setulus es dengan dinginnya" kakek meminum air yang aku ambilkan, setengah gelas Ia sisakan kemudian melanjutkan ceritanya dengan istrinya.


"Aku mendapatkannya penuh dengan pengorbanan hebat, tanpa dia tau sampai saat ini Aku berusaha menjaga dia disaat dia pergi, karena kekhawatiranku akan keselamatannya melebihi dari keselamatanku sendiri, mengantarnya pulang walau dari jauh tidak terlihat olehnya hanya memastikan bahwasannya dia selamat sampai rumahnya. sampai saat ini Akupun masih bisa melihatnya lewat hati anakku, lewat doaku dari setiap langkah aku merindukannya, walau sekerdar senyumnya saja bersedia hadir, itu merupakan kebahagian yang sempurna untukku." ketegaran diwajahnya masih terlihat begitu sarat akan makna kerinduan yang tertahan ditemani putinya rambut membungkus bersama kulitnya yang menipis memunculkan tulang-tulang tengah ikut bercerita.


"Istriku selalu menanamkan kepribadian indah, pengorbanannya selayaknya Ummi Kulsum disetiap nadinya, dia adalah relawan yang menggerakan pos-pos kesehatan dibawah bulan sabit merah dibawah bendera putih, membalut setiap luka-luka penghuni negara ibu dunia disaat dilanda perang, tanpa ada keluhan sedikitpun teracik dari dalam dirinya." Kakek Ahmad mengawali untuk mengenalkanku dengan keluarga kecilnya.


''Dia adalah obat dari segala obat yang Allah berikan dilingkaran keluarga kecilku yang penuh dengan kesederhanaan, penuh cerita kegembiraan dimana kami berhasil menjadikan keluarga sebagian dari hidup terpenting." Kakek meneruskan gambaran istrinya dengan keyakinan terliat dari nada yang keluar lewat mulutnya.


''Istriku hamil tua disaat aku bertugas dalam perang  enam hari waktu itu, meski terasa berat tetapi kewajiban tugas merupakan hal yang mutlak untuk dipertahankan dijalankan untuk menjunjung tinggi hormat bangsa juga agamaku, amanat dari setiap nyawa umat yang tanpa doa terhenti dari setiap peluru didalam pistol terbalut melingkari tubuh. Aku sangat merasa gagah didepan istriku disaat memakai baju perang menggambarkan Aku adalah pangeran pelindungnya, saya senang disaat itu.'' sambil tertawa sang kakek memandang tepat kearah mataku. Pandangan kerinduan terhadap keluarganya terperana masuk terpantul dari kedua matanya.


Kakek Ahmad mengeluarkan sebuah kaleng roti berbentuk kotak dari bulatan kain yang dia bawa sebesar kira-kira semangka besar. Dari dalam kotak sang kakek mengeluarkan empat lembar foto tua. sang kakek memulai bercerita menyebutkan satu persatu manusia yang terpotret dalam gambar.
''Cucuku Rahman ini aku dengan istriku, foto ini diambil saat resepsi pernikahan kawan dekatku, ini kakek  dengan putri kecilku saat itu kalau tidak salah menginjak umurnya yang kesepuluh. dan yang satu ini ketika Neilah Azahra Maria putriku setamat SMA, putriku putri cantik secantik ibunya, dan foto ini foto istriku ketika mengandung Zahra, satu bulan sebelum kakek berangkat perang." Satu per satu dengan telunjuk kakek menuntuntu berkenalan dengan mereka. Suasana terbawa akrab. Tangga pintu masjid bak sofa empuk nan hangat, paving halamannya adalah ukiran persia sebagai permadani menempel diatas kaki melembutkan telapaknya selayak kelembutan permadani turki telah menjelma. Sesaat mata dan hati ikut terkesima, terbawa cerita oleh pendongeng ulung lengkap dengan perangkat penerjmah cerita agar tidak hanya terbayang. Aku merasakan senyuman lebar didalam foto penggambaran betapa kebahagian keluarga ini mengalir begitu deras. Terkesan takjub kepada kakek yang kutemui ini yang berjalan dengan pincang pagi ini. tidak ada gerakan rapuh yang tertampak diwajahnya yang penuh senyum.


"Foto-fotonya memberikan artian lebih mendalam serasa bersilaturahim didepan kalian sekeluarga kek?" Aku tersenyum kepadanya, menunggu cerita lain darinya kembali bertanya "Maaf, foto kakek bersama mereka berdua dimana kek?" Aku menatap wajah kakek yang bersih diatas baju yang dia kenakan jubah putih tepatnya.


''Cucuku Rahman, ada dan tidak akan hilang lengkap dengan suara-suaranya, kakek tidak akan menunjukan murni didepanmu, kakek hanya bisa bercerita tentang kebahagiaan kami untukmu nak? Lipatan senyum tidak terkira waktu itu dan kubalas dengan tatapan keyakinan untuk mendapatkan dongeng hidup nyata dari serangkaian sejarah permulaan mesir dalam satu kehidupan yang mengerucut terhadap dirinya.


"Sebelumnya ini adalah surat disaat kakek sebelum berangkat, yang saya letakkan diatas meja disamping tempat tidur." Selembar kertas putih terlipat sedikit sobek diantara lipatan-lipatan yang terbuat dengan tulisan berartikan ''Aku mencintaimu suamiku". Ia mulai menceritakan satu persatu dari kebahagiaan yang dia alami secara beruntun Aku mendengarnya dengan hikmat dan seksama.


''Kebahagiaanku adalah disaat aku pergi berperang dan mendengar berita dari telegram ditengah peperangan disaat kami ditarik menuju terusan suez  bahwasannya istriku melahirkan bayi perempuan. Menimbulkan kesemangatan disaat peluru masih sering terdengar selayaknya anak muda dijaman sekarang dengan putaran-putaran lagu tentang cinta.'' Kebahagiaan yang pertama Ia sebutkan untukku.


''Kebahagiaan ku adalah ketika kerabatku syahid dimedan perang disaat itu, disaat kematian berjejer hebat didepan wajah kami, sebuah kekalahan yang harus diterima dan diakui dalam diri kami.''


''Kebahagiaan ku adalah waktu dimana aku pulang setelah perang menemui istriku aku disambut dengan pelukan tetangga yang baik.''


''Kebahagiaanku adalah disaat masuk kerumah disambut juga dengan putriku kecil tepat setelah kakek masuk  membuka pintu. sesampai kakiku yang bekas tertembak seperti terbius didekat Zahraku.''


''Kebahagiaanku adalah disaat memasuki kamar rapi wangi, serasa terpeluk habis masuk ke sum-sumku, parfum kesukaan istriku tersebar, melupakan bebauan debu beberapa hari yang lalu."


''Kebahagiaanku adalah saat menuju dapur untuk melihat istriku, diatas meja makan ada sebuah kertas bertuliskan "makanlah dulu" dengan huruf besar. masakan kesukaan kakek walau dengan sedikit rasa yang kurang berpihak,karena lelah menjadikan lidah belumlah sempurna untuk memihak setiap kecupan rasa.''


''Kebahagiaanku dimana tetanggaku menemaniku diwaktu makan dengan sedikit canda dan tawa menghias didepanku, sampai menangiskan Zahra kecil karena terbangun dari tidurnya, akhirnya kakek bergegas menyusulnya kekamar dan menggendongnya.'


''Kebahagiaan kakek disaat mancari dan memanggil istriku kakek kembali ke meja makan sambil menggendong zahra kecil, ternyata sudah tersiap sebotol susu hangat disamping piringku. Saya mengambilnya dan menuntun zahra untuk tangisnya.''


''Dan kebahagiaanku terasa lengkap setelah mendengar kabar istri kakek dalam perjuangannya melahirkan zahra menuju khusnul khatimah Insya Allah dalam nafas terakhirnya diwaktu itu.'' Air minum didalam gelas yang aku suguhkan habis seketika, perasaanku terbawa kesedihan kehidupannya  terdengar didepan telinga, bayangan matanyapun terlihat memerah saat senyum terkesan memaksa. Aku merangkul kakek ahmad menjadikan tubuhku merapat dengannya, "Innalillahi wainna ilaihi raji'un" terlepas lirih dari mulutku. "kakek, kesabaran dan pejuanganmu itu akan membukakan jalan syurga Insya Allah, Allah musta'an. Allahuma la tahrimna ajroha wa taftinna ba'daha waghfirlana wa laha." ku pegang pundaknya bersama senyum. Kakek Ahmad membalas senyum dan rengkuhan tangan kepundakku. "Allah akan selalu bersama kita nak Rahman." sambungnya membalas.


Keadaan dan penderitaan diwaktu yang sama sangatlah susah untuk sekedar dicerminkan, itu menurutku.  Aku tersadar ternyata kakek ahmad adalah seorang penjual tisu setelah melihat bungkusan tisu di dalam plastik putih tebal diatas ikatan kain menggempul. Aku serasa terjebak diantara kesempitan dan kelapangan hidupnya walaupun pasti akan banyak sarat makna didalamnya. Aku beranjak menambilkan air minum  dengan meminta gelas dalam genggaman kakek Ahmad, sesegera mungkin untuk kembali duduk disamping kanannya. 


''Kakek tinggal dimana saat ini kek, bukankah Zahra bisa merawatmu saat engkau menua?''


''Apalah gunanya tangga kalau hanya dijadikan pijakan kaki untuk naik keatas atau sekedar alat pemindah tempat dari atas kebawah begitupula sebaliknya, berjalannya disini tidak lain adalah tabungan terakhir untuk bisa setidaknya sedikit membasah diantara gurun yang selalu saja menebarkan debu yang berwarna coklat.'' kata yang menerbangkan akal pikirku untuk menerima sebuah ulasan dengan cara sedikit berbelit. yang aku balas dengan senyum.sebuah kartu hijau untuk mengizinkan saling berbagi tawa diantara kami. "Tidak nak itu tidak baik, sebenarnya kakek melepas semua hanya untuk kehidupan Zahra agar menjadi terus tumbuh seperti yang lainnya. Cucuku Allah akan menguji kesabaran kita dimana kaki harus pas dalam berpijak, harta itu hanyalah perkara hidup yang seolah-olah dijadikan nyawa kedua setelah nyawanya sendiri, seperti apa yang sudah aku alami selama ini, ketetapan Allah dengan kebijaksanaanNya akan lebih bisa untuk dipahami dimana serangkaian setelah itu menjadi aliran berteman waktu. Nak kita tidak akan bisa menghentikan waktu untuk berlama-lama dalam keindahan, itulah keseimbangan antara kesenangan dan kesedihan itu ternilai mahal.'' dia kembali meminum air yang aku ambilkan. "terimakasih sudah bersedia mengambilkanku air, Alhamdulillah."


''Ingatlah nak Rahman, seberapa besar kemungkinan itu hanya Allah-lah yang mampu, kita sebagai manusia hanyalah bisa berikhtiar. kakek bersyukur  banyak disaat Allah harus mengambil Istri dan putriku zahra, Istriku meninggal saat berjuang melahirkan zahra, sementara zahra dipanggil Rabbku setelah bertahun-tahun berobat sampai kakek tidak perduli mengeluarkan semua usaha juga harta dan saya harus terus dijalannya diatas keyakinan, doa, harapan. Seluruh dana pensiun kakek berikan hanya untuk berobat zahraku dan Allah memberikaknku nikmat sabar untuk menjual rumah yang penuh dengan kenangan indah bersama istri dan anakku, tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan keluarga walaupun kita mengorbankan seluruh harta yang kita miliki. Dari semua kepala keluarga Insya Allah pasti akan melakukan hal yang sama seperti kakek saat itu. Semua hal itu tidaklain karena ada cinta, nikmat Allah yang diberikan secara tulus mengalir ke hati. Bismillahi Masya Allah.''


''Aku berteman dengan tongkat ini selepas perang waktu itu, cacat kaki sangatlah susah disaat itu sampai sekarang, menjadikan hari-hariku susah dalam bekerja. Serangkaian kata-kata lamban diantara para teman-temanku menjadikanku untuk pergi, tapi itulah jalan yang terbaik dari Allah untukku nak. Allah menjadikanku memiliki banyak waktu untuk mendekatkan diri kepadaNya, merajut dan terus merajut agar terus memperbaiki diri. Zahra meninggal di usianya yang ke 21, berjuang menghadapi kanker otak yang dialaminya setelah 4 tahun berjuang, 4 tahun sangatlah cepat nak.'' Aku tidak bisa berkata apa-apa disaat kakek seling bercerita tentang anaknya.


''Tidak ada penerimaan yang tulus kecuali penerimaan keluarga, tidak ada kasih sayang sempurna tanpa adanya keluarga, tidak ada tangisan dalam kebahagiaan yang sempurna kecuali tangisan dan kebahagiaan keluarga. Sayangilah Ibumu dan Ayahmu juga adik dan kakakmu nak, selama masih diberi kesempatan olehNya''. Aku sangat terketuk disaat hidup terketuk dalam ketetapan.


''Kebahagiaanku mendekati sempurna dimana Istriku sudah bersanding sebagai istri terbaik didunia dihadapanku, zahra sudah berhasil menjadi anak yang berbakti kepada ayahnya ditambah Aku bertemu denganmu Cucuku Rahman, Doakan kakek ya? untuk bisa mencapai Kebahagiaan yang sempurna.''


Aku : "Insya Allah Rahman doakan kek, menurut kakek dari semua kebahagiaan itu, apa yang menjadikan itu semua sempurna, agar Saya belajar untuk itu?" 


Kakek : "Khusnul Khatimah fil khayah. Insya Allah." Jawaban ringkas membuka hatiku untuk bertakbir.


"Subhanallah, terimakasih atas semuanya kek, Allah masihlah terus bersama kita" Aku ingin berlama-lama menyita waktunya. Aku memutuskan untuk berpamitan dengannya tapi sebelum Aku ingin berpamitan sang kakek terlihat ingin berdiri dengan memegang tangan kiriku, tidak lain aku diminta untuk mengikuti apa yang ingin dia lakukan. Aku lebih sigap dan membantunya untuk berdiri sementara tangan kirinya memegang tongkat  yang terbuat dari potongan aluminium. "Sebelum kamu pulang kakek minta satu hal, temani kakek manjalankan shalat duha disini." Ucap kakek setelah berhasil berdiri saling berhadapan. "Insya Allah, mari kita wudhu?" Aku menjawabnya dengan menuntun kakek menuju midho'ah (tempat wudhu) serta membantunya masuk kedalam masjid dan shalat dhuha bersama. Aku izin undur diri setelah do'a dengan menuntun sang kakek menuju keluar masjid, melakukan serangkaian layaknya perpisahan yang baik, setelah membantunya sampai menuruni tangga yang terhitung lima setelah itu aku lanjutkan dengan mengembalikan gelas ketempat semula.


Setelah kami bersalaman aku pulang dengan jalan kaki, tanpa terasa sepedaku tidak terkunci dan hilang, "Subhanallah wal hamdulillah walaillaha illa Allah" Aku tersenyum dan berjalan. berbalik badan aku melambaikan tanganku dengan kakek dan kakek tersenyum dan berbicara "Allah musta'an, Allah ma'ana." teriaknya, Aku balas dengan anggukan mantap dan lurus sembari lirik kanan lirik kiri melihat apakah bisa menemukan sepedaku saat itu. sesampainya dirumah batinku kembali berbicara "Allah memberikanku suatu perumpamaan dari orang-orang yang penuh dengan kesabaran, kehilangan hari ini adalah suatu suapan ujian agar aku kuat, Bismillah."

Berbicara tentang hari yang hilang tidaklah lain hanya menebak-nebak, seperti halnya imajinasi diwaktu sulit. Begitu pula mencari manusia untuk membeli hatinya dengan hal-hal sepele, menjauhi dunia bukanlah tujuan melupakan akhirat juga bukan tujuan. Aku sangat bersyukur dimana hati masih memiliki takut. Sudahlah, yang terpenting saat ini pribadiku wajib menjauh dan memiliki rasa takut untuk berbuat salah dan adanya keberanian untuk berbuat benar. Setidaknya pula aku tidak akan lupa akan namaku sendiri, dasar hidup bukanlah menjarah kesejahteraan orang lain yang mana telah menjadi pengkhianat dan mengubur dirinya menjadi manusia. Bicara tentang hakikat hidup aku hanyalah menjalaninya dan berusaha belajar membaca kehidupan dan tidak memaksa hati menjadi peka karena hati tetaplah peka seperti awal penciptaannya. Aku tidak tahu tentang dimana tepatnya ruh itu bersemayam dalam jasad dimana ruh yang menghidupkan serta menjadikan gerak, yang aku tau bahwa saat ini hati masihlah bekerja seperti biasa, menjadikan ruh bagi sesama, untuk saling hidup menghidupi. Subhanallah wabihamdih, Subhanallahi Al-Adzim.


Kairo, Ahad 11 Desember. Musim dingin. (setelah membuka makrah akhir surat At-Taubah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar