Cari Blog Ini

Tik Tok Tik Tok Tik


"Aku halnya manusia yang mengambil satu dari tujuh kehidupan, mengambilnya karena yakin dalam pilihan." Bicara dengan kata seakan-akan.

Jika bicara hidup, Aku akan menjawab. "Hidup itu masa depanku dan juga masa laluku."

Aku bertanya kepada diri sendiri setelah melihat sekumpulan awan yang berpindah, tepat dibawah siang mulai tenggelam.

"Awan itu berlalu, awan selalu berganti bentuk menuruti keinginan angin bertiup." Jawab hatiku disaat itu.

Aku melanjutkan untuk berfikir, ternyata dunia itu berputar didalam diriku sendiri dan juga orang-orang didepanku saat ini. 

Aku mencoba menjawab, entah salah atau benar diatas skala rumit saat ini. ''Terlalu banyak matahari yang terbuat didalam diri kita.'' jawabku memberanikan.

''Waktu tidaklah padat membutir, tidak juga membeku tapi mencair. Jam memanglah tidak berubah bentuk dalam kasat, dia akan terbang seperti angin, seperti udara yang kamu hirup.'' Itu kata waktu.

''Oh hidup itu ditemani detik rupanya.'' Jawabku bodoh.

"Masihkah kamu mencari keberuntungan didalam kebohongan?" Tanya sang waktu kepadaku.

''Iya masih, Aku masih saja membohongi untuk mencari keberuntungan dan keselamatan, rela merugikan orang lain agar aku selamat.'' Aku jawab dengan Egoku.

"Aku menyesal menemanimu, berubahlah sebelum terlambat. Sebelum aku berhenti menemani nafas diduniamu.'' jawab waktu yang selalu saja sabar.

''Janganlah kamu berbicara seperti itu. Hai sang waktu, Aku masih belum sanggup jika Tuhan mengambil satu detikmu dari detakan jantungku." Jawabku menunduk.

"tik tok tik tok tik tok.'' Sang waktu hanya menjawab dengan suara detupan mendetik.

''Aku masih takut.'' Tambahku dan berakhir.


»»  READMORE...

Sebuah Cerita Untuk Tita

Hari libur adalah hari yang pas untuk sekedar mencari suasana indah kota kairo, terutama pagi hari dimana mata-mata masihlah banyak yang tertutup bermanja-manja dengan ranjang. Tubuh mendadak ingin mencari hangat setelah melihat sepeda didalam rumah berdiri seperti memanggil. Terbesit sesaat "menggayuhkan pedal sepeda dengan harap mempercepat jatung agar darah mengalir lancar tidak tersumbat, sehat sehat sehat.'' sugesti hati untuk berbuat. ''Bersepeda pagi!!'' mantapku. "Menyisir jalan sewaktu pagi disaat debu belumlah sempurna mengapung tertebas lajunya mobil, ataupun melayang tertiup angin, apalagi udara baru terbangun sayu-sayu terterobos laju sepeda dengan tubuh berkulitkan jaket coklat tua kain parasut, pasti sangatlah indah." batinku menambah sebuah opsi untuk mengikatkan tekad. Berharap dengan itu menunda tubuh agar tidak cepat bersatu menyatu menjadi tanah, setidaknya menyegarkan kesemangatan disaat garisan mutlak  penuh dengan tuntutan hidup menjadi baik. Menggayuhkan setiap kepergian dengan kesemangat sebagai pembuka hari.

»»  READMORE...

Mendengar Ke-galau-an Setan Dalam Kufur


Menelusuri malam dengan berjalan, berbaris acak disadar jalanan bukit tinggi menggelap. Disaat angin musim panas sedikit terlupakan, panas dari hembusan nafas neraka merarik-narik setiap busurnya. Berbagikan cerita dengan helakan tawa keras dalam tangis, tanpa tau akan hulu dimana itu berakhir. Berjalan jauh se-enaknya kaki melepas hati, tersandingkan kegilaan foto-foto terbidik atas keindahan kekekalan ter-pimpin dibawah rona lampu-lampu malam pemakaman menambah hias, hal kosong tidak terpengaruh untuk bisa membungkam apa yang ada didalam lesungan hati. Aku meyakini malam yang bisa membakar kecemburuan ini disaat datang, membutakan setiap amarah tidak tertahan disaat menjilati anak adam mulai kembali bernyanyi. Ketidak pedulian kembali mengambang bergoyang-goyang diatas air tidak kunjung tenggelam. Kedalaman cinta yang salah memberantas semua kepekaan hati dimana selalu saja ingin bercerita. Hati biasa ter-peras habis dimana rasa tidak bisa lagi diarahkan. Keringnya hati karena lemas terlalu lelah mengeluarkan keringat. Air tidaklah lagi menjadi pengobat haus dan kepanasan, tetapi hanya menjadikan jalan menjadi susah karena pasir berubah menjadi lumpur hidup, yang siap menelan setiap hidup menjadi tamat.

"Aku merindukan hati yang bisa membuatku termanjakan oleh se-ikat rasa, bukan derita!"

"Setiap sudut Aku berusaha agar bisa terjaga terbangun dari sentuhan sepi menggiring karena letih telah menjaring."

"Melepaskan setiap lahirnya rasa, tanpa ada satu saja hadir tersimpan walaupun sejenak berparkir."

"Matahari yang terbit pagi tadi sudah berhasil membuatku kecewa, dan dari setiap detik yang baru saja berlalu, tidak ada yang bisa mengindahkan dunia."

"Biarlah malam ini aku bercerita tentang nuansa tertebas karena terbang terbawa angin yakin akan tersesat"

"Hariku adalah mimpi burukku disaat bernafas, dengan dada yang aku usahakan tegar tapi tertebas."

"Mau Kau kemanakan Aku ini Ya Tuhan! bukankah Aku percaya kepadaMu akan kuasa."

"Engkau telah membawaku lari jauh kesini, Aku selalu yakin Engkau tidak pernah meninggalkanku setelah sejauh ini berlari."

"Membiarkan Aku menjadi busuk tanpa arti, diatas kegelisahan hati yang terus saja terberi tanpa Aku pernah meminta."

"Jeratan api panasMu telah tergambarkan dalam cerita, meleluhurkan ketakutan kematian disaat abadi."

"Lahapan lahar mencabut nyawa diatas Malaikat datang menyiksa setiap rongga kulit sampai ke sum-sum."

"Akankah ada nafas kedua dimana kehadiran perubahan menjadi baik, setelah nafas pertama salah terambil."

Anak Adam telah berdalih dalam dzikirnya, bertasbih selayak malaikat bertasbih. Keadaanku mulai tertatih disaat AyatMu mengudara jelas, menusuk pati hidupku menjadi Raja. Kegelapan tidaklah bisa membeli terang yang Engkau takdirkan, melawan hambaMu yang bertaqwa membuat senyawa berapi-api itu terpadam. Penyesalan kekufuranku yang telah menutup gerbang surgaMu, keindahan kehidupan nyata menjadi Iblis mengharapkan surga tetapi bukan untukku, Aku lelah membayangkan kegelapan akhir. Ketakutanku akan kiamat dikala neraka semakin mendekat. Termamamah panas meleburkan tubuh berulang-ulang yang tersatukan lalu terpisahkan, yang tersatukan lalu terpisahkan, yang tersatukan lalu terpisahkan berkutat di satu tempat tanpa ada titik yang menjeda.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VII

Hari yang sudah terlewat, menyisakan cerita terjejer diantara beranda-beranda hati yang menghangat lebih. Putih masih saja terjaga dengan putihnya. Suara gesekan biola terlebih sudah menuntunku jauh membawa imajinasi, meningkatkan pikiran untuk lebih menggali apa yang ada dihadapanku, yang harus bertatap wajah tanpa bepaling atau lari untuk menjauh. Berargumentasikan tidak akan berlari seperti pengecut yang takut mati di tengah medan peperangan harga diri. keheningan seperti ini pernah aku temukan disaat berlibur di Indonesia beberapa waktu yang lalu, memandang jauh ketengah danau untuk menghilangkan taring-taring dari sekian kejahatan dan kesalahan hampir mengakar dalam hidup. Danau yang menghijau ditengah-tengah, serta hiaasan warna biru bak ketenangan terpancar didalam kedalamannya yang misterius diantara pepohonan mendamaikan racikan esensial alam menjadi-jadi. Perkara hati seringlah terbelalak mata, membuka setiap rona-rona tajamnya hasrat didalam nafsu menitik tidak terarah membaur bersama menjadi satu. Disaat itulah penyesalan aku utarakan didalam perantaraku dengan Tuhan. tanpa satu pucuk dari dosa aku sembunyikan, dengan cara berbicara ditemani alam menjadi kebiasaan yang sangatlah berarti untuk memperbaiki hidup. Rintihan hati seiring dengan nada-nada angin berhembus mematangkan setiap telisik detik menjadi awal untuk membaikan suasana, kedamaian hati seringlah tersingkir didera ratapan sebuah ingus dari kehidupan yang memekar. Terlebih disaat menantikan kehadiran setiap corak hati bersih untuk memeluk cinta dengan pribadi yang indah ada tersedia untuk bersanding melawan setiap hukuman-hukuman perihnya nyata diatas tanduk agar terselamatkan dan tercurahkan barakah dari setiap jalan yang terlewat tanpa harus menghindar karena takut.

Hati yang menanamkan serta memahamkan ritual tepuk tangan setan sering hadir telak terbahak diatas tawa-tawa kemenangan salah memucuk tinggi, seperti ketukan vonis mati didalam pengadilan hidup. Air mata bisalah menjadikan ganti sementara atas penyesalan sebelum bertindak mengisi, mengantongi setiap jeritan agar tidak tertumpah ruah serta aman terjaga. Banyak hal yang mengatakan kesalahan adalah manusiawi yang wajar, tidak lain hanya membenarkan kesesatan agar terulang mendulang setiap kering agar tidak harus membasah. Hati-hati seperti Intanialah yang mampu berkata dengan ludas dimana itu adalah kesalahan mutlak yang harus dibayar dengan pengorbanan untuk membersihkan diri, menjauh serta mengganti dengan hal bermanfaat dan ada tujuan pasti Lillah. Aku menyimpulkan banyak hal dimana kesucian itu lahir karena setelah menelan mentah-mentah sebuah air suci, air hanyalah sebagai materi penghilang haus meneruskan kehidupan. Lurusnya kehidupan tercipta karena kesadaran diri untuk berbuat menjadi baik tanpa ada sedetik kalimat atau perbuatan menjerumus untuk kedua kali terulang, Allah Tuhan semesta alam pembuka setiap hati disaat gelap, pengampun setiap dosa-dosa yang menggila.

Malam terus termuliakan diatas gelap semakin menengah, buku yang tertumpuk sudah berhasil terbayar lunas tepat itu. Muhasabah sebelum istirahat telah menuntun setiap gerak, menyisakan banyak hal yang harus aku buang menjadikan pribadi yang baik untuk mendapatkan hal yang baik. Mendatangkan kehidupan yang layak sebagai manusia berkhlak, menjadikan itu tanpa hanya ada dalam bisikan semata. kehidupan seperti itulah yang aku temukan saat ini dimana aku lebih bisa mengenal dekat Intania Putri Maharani. sedikit-demi sedikit Dia telah berhasil membungkus dan mengubur dalam setiap hitam datang. Dia menjadikan ku putih, seperti hendak mendaki pegunungan terjal yang serat akan batu terjal tertumpuk mengisi sudut sudut kematian datang mamuncak. Intania akan hadir dengan sambutan tangan terikatkan kain untuk menarikku menjemput keindahan diatas puncak, tanpa tertutup dari setiap senyuman yang diberikan, senyuman yang mampu memecahkan kaca-kaca awan disaat menggelap karena hadirnya mendung. Hadirnya mengusap setiap kerinduan terang atau sebatas angin yang menyapu kabut menjaga setiap hati untuk senantiasa hangat disaat pagi. Harapan demi harapan tercurah tertumpah hebat, nafkah dari sebuah keinginan hati disaat terkufur oleh nikmat. Jeritan hari semakin terhilang mulai sayup menjadi hilang tidak berbekas, Kekuatan dirinya yang terpancar dari keajaiban iman terlukis erat berlari bersama nadinya, mennterjemahkan hari untuk berbuat lebih baik tanpa menjadikan diri terjebak hina. seperti mustika langit didalam arti nama yang terbuat "Maharani" dimana keluasan Tuhan tidak terbatas diatas sana, diatas langit yang terbentuk tujuh terlapis.

Kehidupan sangat mudah untuk tertulis, tapi tidak dalam setiap geraknya itu terpilih, Aku jujur mendalami ketakutan yang sangat akut dimana kediamannya menjadi bahasanya, apalagi dari setiap tetes air mata terlihat yang mana menurutku air matanya adalah hal yang sangat mahal untukku dalam tawar. Menuliskan bahasa diam adalah kematian memucuk di alam hidup, karena adanya Intania menjadi ghaib samar tanpa terlihat kasat oleh mata. Kediaman yang berhasil mengimajinasikan diri menjadi rapuh tanpa adanya suatu bentuk, karena Intania adalah segelas air diatas gurun panas membakar telapak kaki tersesat dalam langkah meraih setiap tujuan iya itulah intania. Terlahir lebih dari sekedar oase bagiku ditengah kerumunan haus membagi dari setiap potongan tubuh yang terlelah. menjaring setiap asa agar terangkut ke atas untuk dibuang. Pengingat waktu seperti adzan membuka suatu waktu untuk berdiri menuanaikan shalat. Aku tidak suka jika kesedihannya terlalu dalam terlarut.

Bersambung Insya Allah...
»»  READMORE...

Azka dengan penantiannya


Namanya Azka lengkapnya Azka Rahman, lelaki yang tinggal disebuah flat lantai 5 didaerah game' resort, Azka yang sering kedinginan diwaktu malam (emang pas musim dingin) diawal bulan desember ini, seorang Mahasiswa Indonesia yang diminta keluar negri untuk menuntut ilmu (istri juga .red).  Sore ini mendekati maghrib, terhitung seperempat jam sebelum adzan tepatnya, yang mana waktu pas untuk bersantai menanti buka puasa. Diruang depan dalam flatku masihlah berlangsung sekelompok putra-putri bangsa pecinta kajian yang dimulai dari jam 03.oo pas setelah ashar, sampai saat ini masih terlihat hangat dengan materi yang diulas terbawa hikmat seolah-olah menghipnotis setiap gerak disekitarnya, terlihat duduk memutar saling berhadapan. Sedikit obat untuk mahasiswa dan mahasiswi akademistis. Sedangkan beberapa puluh kilo dari sini ada seorang sahabat azka namanya Intania yang sedang menyendiri (kabarnya si, lagi meditasi tingkat tinggi) nah artinya ada masalah saat itu alias galau, hal itu aku bilang wajar untuk orang seperti dia, orangnya biasa-biasa saja (tapi oke), suka coklat sampe warna-warnanya, berwajah sedikit tembem (cerminan waktu kecil kayaknya imut) agak galak bisa juga jutek dan banyak nyebelin apalagi pas memakai baju hijau, hmmm diledekin sedikit siap deh cecet cowet, tapi asyik. eiiits satu lagi, "suka manyun" sampe pas waktu tadi sore dia ditunjuk sebagai moderator agak manyun-manyun (sadar ngga ya? heheheehe), BTW lucu pisan ngeliatnya.

Kembali kecerita, waktu itu Azka dan Dia menjalankan puasa 10 muharam Alhamdulillah, sehari sebelumnya Azka menelpon sahabatnya itu menanyakan tentang puasa atau tidak? "Insya Allah puasa, eh ngga tau lah ya?" sepotong sesi pembicaraan jawaban Intania diwaktu itu, biasa kalo bilang suka seperti itu, bikin senyum diawal eh bikin manyun diakhir (makasih dah kenyang? .red). dia punya mantra ajaib yang bikin kesel kalo ditanya sesuatu hal, "ga tau lah ya? hehehehe" lengkapnya ucapannya seperti itu, dengan tertawanyapun bisa dihitung seringnya empat persis seperti yang tertulis. (jadi inget telenopela betty lapea). 
15 menit sebelum maghrib misscall dari dia, sebelumnya Azka memang sudah misscall duluan pas jam setengah empatan. (misscall misscallan .red). Aku akhirnya menelponnya dengan pertanyaan persis seperti lagunya kengen band (@lay banget) 

"salam... hey mbem lagi dimana? dengan siapa? sekarang berbuat apa?" sapa Azka tanpa koma didalam telegram, (telepon maksudnya .red). Azka memulai percakapan disore itu.

"wa'alaikum salam, hehehe ana di wisma, sendirian dan lagi pengen menyendiri aja?" jawab Intania pas seperti apa yang azka tanyakan (tumben).

" yaaah... kok disana si, ngga di asrama, terus ana gimana dong, kemaren kan ana dah bilang? eh emang mau cuti asrama ya?" sambungnya memperjelas sambil sedikit terheran-heran azka menjawabnya dengan ragu.

"mmmm gimana ya? sekarang ente dimana? ana ngga cuti kok Insya Allah, sudah kebanyakan cuti hehehe" sambung intan dengan balasan balik tanya. (memang mahasiswi satu ini super duper sibuk dengan kepanitiaan ngga disana ngga disini).

Azka :"waduh, ana masih dirumah, mau nganterin nih tapi ente juga diwisma, trus gimana dong? ntar turun di game' saja ya, soalnya bentar lagi buka puasa nih?

Intan : "mmm ngga tau lah ya? masa ntar ana turun di halte game' ntar ana dua kali naik mobil dong? eh emang maghribnya jam berapa si terus jam berapa sekarang?

Azka : "yah dodolnya kambuh deh, sudah sekarang gini saja ntar kalo dah nyampe deket game' telpon ana biar ana siap ya? ohya maghribnya sekarang jam 10 (sambil heran tingkat dalam) masa ngga tau maghrib jam berapa bu? jam 5 lewat dikit benget dah masuk maghrib, sekarang dah jam 5 kurang 15 tuh? cepetan pulang bu?"

Intan : "oh gitu ya kalo gitu ana sambil jalan deh, hehehehe ya deh ntar kalo dah sampe deket game' ana misscall ya?"

Azka : hu uh deh, eh emang di wisma ngga ada acara ya? kok sendirian disana?

Intan : "iya nih para pengurusnya lagi jalan jalan ke dufan (Dunia Fantasi .red), tapi yang cowoknya aja, cewe ngga, ohya gini saja ntar ana tunggu diterminal 10 saja ya gimana? ."

Azka : "ooo gitu to, lagian kalo tembem kesana juga dah 2 kali (bosen). eh cepetan ya? ya udah ntar ana tunggu di terminal 10 kalo gitu, tapi dengan syarat ana ngga mau ke asrama, ngga enak keseringan sama abang satpam, tuh kan adzan? denger ngga?"

Intan : masa iya dah adzan, kok ngga kedengeran ya? hehehe ya ntar gitu aja, nyari makan yang siap saji aja biar ngga lama ente nunggunya"

Azka : hu uh deh, eh masa belum adzan disana, hapeku saja sudah adzan masjid samping juga sudah tuh masa dari situ ngga kedengeran, ah ngga mungkin?"

Intan : "belum nih gimana dong?"

Azka : ya udah ana adzanin nih.. Alllahu akbar allahu akbar, dah tuh?

Intan : hahahaha iya dah adzan, dasar ga jelas huuuuu?"

Azka : hehehe lagian masa ngga ada adzan disana?
ya udah cepet batalin puasa dulu gih?

Intan : iya nih lagi beli air, di warung deket jalan sambil nunggu bis, iiih bisnya penuh semua tau?

Azka : sip deh kalo gitu, ana mau mandi dulu ya? hehehe deritamu, met berpenuh-penuh dalam bis ya?

Intan : iiiih dasar hahaha iya deh mandi sana, ntar ana misscall.

Azka bergegas menuju mandi dan melangsungkan shalat maghrib, diteruskan dengan shalat di ruangan tengah dalam flatnya. dengan diikuti oleh sebagian teman-teman kajian belajar, yang lain masih antri untuk mengambil wudhu saat itu. setelah selesai maghrib dia bergegas menuju resto indonesia yang memanglah cukup dekat dengan flat. sesegeralah dia memesan 2 porsi makan terbungkus rapi. 20 menit lebih sudah berlalu azka kembali menanyakan sudah sampai manakah Intania berjalan dari wisma menuju asramanya, sambil membeli 20 coklat pasta kesuakaannya, dan ternyata baru sampai ke distrik 4 waktu itu, masih terhitung beberapa puluh menit untuk sampai ke asrama, itupun jika tidak terjebak macet. Azka bergegas menuju halte game' untuk menuju terminal 10, yang terletak tidak begitu jauh sampai untuk hari biasa terkadang azka memilih untuk berjalan kaki ke daerah 10 untuk sekedar menyegarkan suasana ditengah debu-debu tanpa segan untuk tebar pesona dihadapannya. menaiki mini bus menuju terminal 10, ini pir duitnya setengah pon dibayar tunai. azka yang sudah duduk nyaman didalamnya berbanding terbalik dengan Intania dalam perjalannannya didalam bus yang penuh sesak. (faktor amal perbuatan .red) "kasihan deh si tembem hehehe" ucap hati azka mulai sirik dengan keadaannya saat itu. sesampainya azka di terminal 10 dia langsung mencari handphone untuk segera mengecek Intania yang masih didalam perjalan.

Azka : "Hallo, dah nyampe mana nih?"

Intania : "azkaaa gimana nih macet, ana lewat distrik 8, mana iiih sesak banget lagi didalem?

Azka : nah kok lewat distrik 8 si? pasti macetnya minta ampun kalo jam segini lewat sana? haduh masih lama dong ceritanya, bencana deh, ana dah sampe terminal nih? kok ngga lewat distrtik 7 kaya biasanya?

Intania : Ana ngga lewat distrik 7 soalnya tadi busnya penuh minta ampun. hehehe tenang saja, ana dah jalan nih dah jauh banget didepan bus yang ana naikin tadi, tapi aduuuh mana belum shalat maghrib lagi haa.. ibuuuu....?" (kebiasaan kalo lagi situasi susah kaya gini nyebutnya Ibu hehehe .red)

Azka : " hahahaha Ibu dirumah, ngga kemana-mana Insya Allah sehat. bukannya di doain malah dipanggil-panggil hehehe, Alhamdulillah deh kalo sudah jalan mah, naik taksi saja mbem? shalat dulu gitu lho... setengah 7 lebih sepuluh dah adzan Isya soalnya. tau letak masjidnya kan?"

Intania : "iya gimana dong? ana ngga tau masjidnya dimana ? hmmm pegel nih kakinya tau?"

Azka : "hehehe ana juga ngga tau mesjidnya tepatnya dimana soalnya masuk2 juga si? jadi lupa. Ya udah cepet sampe ke asrama saja, make taksi kan cepet, ntar ana tunggu di deket pom bensin saja ya?"

Intania : "aduh azka maaf banget ya? jadi ngga enak hehehe. lagian coba tadi ngga usah?"

Azka : "yee kebanyakan maaf, ngga mau ah... lagian dah biasa dijahatin sama ente tan? hahaha. ngga usah gimana, dah terlanjut dodol?"

Intania : "hahaha emangnya ana gitu ya, kaa... belum nemu taksi? terus ntar kalo terlambat gimana, kena denda dong?"

Azka : "waduh ngga nyadar lagi, dah jalan lagi terus kedepan, Insya Allah ada. emang kalo terlambat kena denda gitu? ohya ana beli coklat pasta, setiap ana nunggu 5 menit jatahnya intan ana makan 1 hehehe."

Intania : "nah kok gitu si? hahaha gapapa yeee makan saja sana ngga nyesel kok wee, kaa kena denda 5 pound kan sayang tau? apa cuti saja ya, gmana menurut ente?"

Azka : "iya bener nih ana makan butuhnya  5 menit 1 coklat asiik hehehe, eh cuma 5 pound saja ngga masalah ngga usah cuti atuh, biar ana yang bayar ntar. ana tunggu nih".

Intania : iya deh hehehe Alhamdulillah dah dapet taksi nih? dah dulu ya ntar ana misscall lagi deh hehehe

Azka : hu uh hati-hati dijalan.

Intania : iya, Insya Allah.

Tidak terasa sudah 8 coklat azka habiskan, 7 kalikan 5 berarti sudah 35-an menit dalam masa tenggang. (menunggu .red) baginya adalah upaya pengebalan tubuh melawan dingin diluar rumah, cukup membosankan memang, disamping pom bensin seperti setrika mondar mandir dari utara keselatan jika bosan dalam duduk manisnya disamping mobil truk yang sedang menunggu angkutan. Azka kembali menunggu janjinya intania untuk sekedar misscall, dalam hatinya mulai muncul keraguan. Dalam hitungan waktu tempuh yang sebenarnya tidak lebih dari 20 menit untuk sampai ketempat azka menunggu waktu itu. tiba-tiba Intania kembali misscall dan sengaja Azka matikan waktu itu. Bergantian azka untuk segera menelpon Intania sambil menenteng tas plastik hitam bingkisan makanan yang kurang lebih 1 jam menempel ditangannya.

"Hallo, dah sampai mana?" Azka mnyambug kembali menjadikan babak pembicaraan dalam telepon.

"hehehe ana dah sampe di belakang asrama nih lagi jalan, ente dimana?" jawab Intania dengan lembut. (selembut sutra .red)

Azka paham diwaktu itu dimana dia sedang hebat mengejar waktu shalat maghribnya sebelum isya itu datang menghabiskan sore bergantikan petang.

"ya Allah ana masih jauh dibelakang, masa ngga kelihatan si? intan make baju apa? ana dah sambil lari nih?" sambung Azka kembali.

"lagian tadi ngga keliatan coba azka dimana?" dengan nada sedikit terengah-engah dalam nafas pertanda cepatnya Intan berjalan.

Azka : "Ya sudah ana kesana secepatnya jika tidak tersusul, tinggal saja dulu untuk shalat. ana tunggu di belakang asrama."

Intania : "ya deh, ana dah sampai asrama dah dulu ya, takut ketabrak Isya, ana mau shalat di lantai 2 kok, ngga langsung kekamar?" (lantai kamar Intania tepatnya dilantai 6)

Azka : "iya ana tunggu sampai selesai shalatmu."

Azka mendesah sedikit dalam nafas, "kenapa tadi Intan ngga sempetin untuk hubungin dulu ya?" hatinya berbicara sambil duduk diatas beton garasi dengan dihadapkan tanah kosong bekas bongkaran bangunan. sambil menunggu ditambahkan 1 coklat dia ambil menjadi genap 8 coklat berhasil terhabiskan. Sambil setia menunggu panggilan nada dering kesayangannya, milik band ganstarasta dengan hilang judul tepatnya. Malam itu cukup memberikan banyak gambaran diotak kirinya, disaat tukang bengkel masih saja disibukkan dengan mobil-mobil setia menjadi pasiennya. dibelakang asrama Intania memanglah banyak berjejer bengkel-bengkel membuka lapak, entah sampai jam berapa mereka bekerja. Beberapa saat kemudian gangstarasta pun bernyanyi dalam handphone ditemani sebuah gambar foto Intania tersenyum dalam layar memakai baju biru langit dengan menghadapkan tubuhnya kesamping, hanya wajahnyalah yang menuju titik fokus potret diwaktu itu. Sebuah foto yang pernah dia ceritakan beberapa bulan yang lalu lewat sebuah jejaring sosial, dimana sedang bercengkrama dengan keluarganya ditepi sebuah pantai, terlihat Ibu menyuapkan nasi ke adiknya paling kecil seumuran kelas 4 SD menjadi background pemandangan foto indah Intania. Agak lama Azka tidak mengangkatnya sampai benar-benar Intania mematikannya handphone miliknya, terlihat tidak kesengejaan melintasi bawah sadar dimana Azka tidak pernah merasakan indahnya rekreasi bersama keluarga seperti dalam foto milik Intania. Sebelum Azka membalas kembali untuk menelpon ternyata suara nyaring intania merubah segalanya. "Azka!!! ana di gerbang cepetan." Azka tanpa lambat langsung menuju ke gerbang asrama dimana hal yang tidak seperti yang direncanakan sebelumnya. Langsung memberikan bingkisan tas plastik hitam yang telah setia menempel dengan tangannya 1 jam lamanya. Intania terlihat tersenyum dibawah remang-remang lampu gerbang dengan bantuan lampu jalan menjelaskan warna baju yang dia kenakan waktu itu.

"nih maaf, met berbuka puasa ya? sekalian buat vina" Ucap Azka.

"iya makasih ya? aduh maaf banget azka?" susul Intania dalam jawabnya. 

"iya sama-sama, eh kena denda ngga? hehehe" jawab azka dengan senyum menatapnya tidaklah lama.

"hehehe ngga kena, penjaganya lagi baik Alhamdulillah?" jawab Intania dengan wajah takut sudah menghilang dari ikatan senyum yang dia pamerkan, setelah berlari mengejar waktu terdesak kemacetan kota.

Azka berucap salam dan pergi.
Terlihat sekilas Azka dengan senangnya berjalan pulang menerobos dingin, berpuas diri setidaknya Dia berharap apa yang ingin Dia sampaikan tak lain hanya untuk berbagi, 1 jam lebih menunggu adalah sebuah metafora keindahan untuk terukir agar bercerita.

Sampai berjumpa kembali Azka, setidaknya penantianmu dihari itu tidaklah sia-sia. Semoga Intania selalu mendo'akanmu, seperti dirimu yang selalu mendo'akannya setiap shalat dan malammu.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VII

"Sisa-sisa dari tenaga yang telah terpacu Aku arahkan untuk melewati sebumbung kegetiran, rindu pastilah tertumpah ruah, entah berapa hati yang sakit tertimpa suatu perkara hidup selalu saja setia menghimpit. kekuatan dan kesabaran terus saja berdalih untuk menantikan ujung dari sebuah kenikmatan yang terjanjikan sebagai hadiah bagi semua orang yang mampu berlayar dalam bahtera hidup masing-masing. jikalah hidup seperti gerimis malam yang dinanti-nantikan pasangan pengantin baru yang menyebutnya sebagai pendatang kemesraan lebih didalam hubungan, tentulah bisa bersandar akan peristiwa syukur didalam bertafakur. Aku harus bersabar dan Aku harus kuat dalam sikap." itulah yang aku tuliskan didalam notebookku, karena berpuluh kali membolak-balikan buku serasa tidak berujung segera habis. Sudahlah yang terpenting hari ini Aku katakan "Selamat siang duniaku, semoga hari ini Intania bisa menjalankan ujiannya." puasaku hari ini terasa lebih menyenangkan dimana harapan didasar doa masihlah berharap menuju pucuk harapan untuk terjabah, dengan kutitipkan Al-fatihah telah tercoba. disela belajar dan menunggu kabarnya lewat telepon tentang bisa atau tidaknya dalam menjawab soal ujiannya.

disamping-samping hembusan nafas penuh asap telah bergandeng bersama angin, tukang kebun dibelakang rumah kembali membakar sisa-sisa dedaunan gugur, tanpa kita tahu akan perjuangan udara membersihkan kembali agar sehat terhirup dan rela bercampur mengorbankan asap kotor menjadi bagian hidupnya, menghadirkan kembali udara segar tanpa meminta pujian serta jaranglah diingat. mungkin disaat itu hanyalah daun itu harus bersih untuk taman dikebun agar selalu indah bersih terjaga. Aku ingin bisa menjadi udara dalam sahabat hari ini, karena Intania telah memberikan kebiasaan yang sangat berarti disaat dia bercerita. membagikan pengalaman hidup indah yang akan terdengar tidak akan pernah ada peran kebosanan dikala aku mendengarkannya. Aku tidak tahu mengapa ini terjadi, karena aku sendiri bukanlah sesosok pendengar yang baik, darinya Aku menemukan fungsi dimana telinga dalam hakikat itu bergerak. dengan sedikit ulasan merombakku dengan tanpa sadar, kebiasaan baik sering aku contoh dari dia. entah dengan jadwal keseharian ibadahnya mau berbagi denganku. Dialah pembawa keabadian manis diatas langit nanti.

Aku memanggil jiwaku agar saling berbagi dengan jasadku saat ini, tidak lain untuk sebilah harapan janji kesetiaan dalam kebaikan, yang mana akan aku gunakan sebagai perisai disaat putus asa datang menyerang mengepung penuh disaat belajarku siang ini. menjauhkan kekhawatiran berlebih menjadikan mati gerak sepasang kaki, juga untuk menyadarkan bahwasannya episode kehidupan pastilah berganti dan semua tidak sama dan tidak akan pernah menjadi sama. Aku gayuhkan lebih kencang untuk bacaanku, sambil menabur do'a agar bisa menjadikan barakah. 2 1/2 jam tidaklah terasa beralihkan pandang saat muadzin memanggil serta menyambut dzuhur dalam nyanyian. Keheningan kota menjadi-jadi bersama panas disiang itu, mengasihi dari setiap suara yang diciptakan berjalan keluar menaiki sebilah keseharian saling terbuka dan tertutup. seperempat jam setelah rutinitas dzuhur itu berlalu. Aku mendapatkan kabar dari Intania, dengan membuka setiap harap agar selalu bisa menjawab seperti apa yang dia usahakan untuk masa depan. cukup gembira dengan kalimat "Insya Allah" menenangkan hari menggunungkan kesemangatan untuk mengejarnya dihari esok. Alhamdulillah telah hadir dalam batin bahwasannya kemampuannya hari ini merupakan anugrah indah untuk setiap serpih perjuangan tersebar. Membayangkan Ia tersenyum sudahlah cukup tanpa bertemu walau tanpa sengaja berpapas dijalan, atau sekedar menemani belanja beberapa sayuran di pasar-pasar. Tuhan, berilah hamba kekuatan untuk bisa memberikan sedikitnya sejuta ruang, untuk bisa menampung semua cerita Intania selama Aku masih bisa mengenalnya.

Bersambung... Insya Allah.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VI

Dari setiap do'a Aku langit-kan untuknya, tiada lebih hanya untuk meminta ke Tuhan dimana Intania berarti dalam. Berdo'a bagiku bukan merupakan kiasan manusia karena pasrah, tapi ini usahaku dimana kulit tak bisa tersentuh, dimana pandang tidaklah harus mendekat dan inilah yang aku lakukan. Keselamatan serta kebahagiaan untuknya dari awal mengenal intania sampai nisan tertuliskan nama nanti, entah namaku ataupun namanya disana. Sepenuh dari cahaya memberikan harapan sebuah kehidupan yang menjadikan warna terlihat, mungkin seperti itulah do'aku untuk intania. Hari ini tepat jam 03.oo pagi, mata Aku paksa untuk terbuka agar bisa memeluknya dalam do'a, sembari bercerita dengan Tuhan atas perkara akhir setelah wafat yang mana masihlah terkurung, belum ada secuilpun kata sempurna dihadap-Nya, dalam tolak ukur hamba dengan Tuhannya. Dari semua perih untuk semua hati dan seberkas cahaya nikmat hidup, dimana kematian disetiap helaian hari teruslah berkurang menjadi dekat. "Aku mengambilnya hanya untuk amanah didalam sahabat", iya kata hatiku mantap dan Aku antarkan usaha menjadikan puasa dihari ini untuk wasilah doa kemudahan ujian Intania.

Selama ini aku tidaklah pernah memusingkan diri dimana waktu akan menggambarkan perpisahan aku dengan dirinya, karena sejujurnya diri masihlah takut. "Apakah ketakutan itu harus diikat menjadi penghias mata setiap harinya?" kalimat batin membisik jelas seperti angin yang mendinginkan telinga ketika berhembus. "tidak." jawabku didalam nurani terucap berontak dan tanpa paksaan membuka mulut tersalur oleh nurani tanpa kesengajaan, menggeliatkan mata lain melihat dengan sosokku menjadi objek. Memancingkan kalimat sapaan "kenapa?" dua dari temanku memandang heran terkagetkan suara. Aku terdiam hanya bisa membalas senyum menjadi ajang pemeran gigi diantara teman-teman yang masih terjaga dengan buku. Ini semua hanyalah perkara antara ada dan tiada, bahasa baku dengan akrab saling bertautan meracik satu kerena hakikat. "sudahlah menerjemahkan itu semua tidak akan ada habisnya". Ucapku dalam hati mencoba menasehati diriku sendiri agar kembali terfokus serta tidak terlupa akan loyalitas kepada diri sendiri yang menjadi tanggung jawabku saat ini. "Karena Aku sayang akan diriku sendiri", dimana kalimat mantra penggugah hasrat disaat melemah tanpa segan terhadir didalam rutinitasku, ini adalah sebuah celoteh mengisikan pikiran sementaraku saja.

Suasana pagi yang mendamaikan, seperti Ayah yang melihat anaknya pulas tertidur dimalam hari karena merasa yakin telah terjaga. Menunggu subuh sangatlah cepat dimusim panas, 03.50 adzan pagi ini sedap terdengar, tidak lama setelah penantian dibalutkan ayat mengisi bersandingkan hangat yang terbawa dari altar kuasa tidak terbatas, Aku merasa tercerahkan untuk kemabali berani lebih terbuka. "Letih sering kali menjadi pijakan setiap jiwa dalam cerita, tanpa teremuk oleh pinta sebelum mengucapkan setitik kata, kebahagiaan menjauh pergi serasa malas terganggu. Subuhlah yang mampu menyapu semua itu, bertindak sebagai ombak dilaut pasang membuang sampah-sampah terapung lemas. Cerita hati akan menahan semua ketidak berdayaan diri menterjemahkan semu, terjemahkanlah semua apa yang berwujud agar bisa mengambil makna dari hidup." membuka kembali catatan Alm. Ayah untukku, mempergegas masuk tanpa permisi dan malaspun tersapu bersih tanpa tersisa. Berjalan melihat tangan antara malam dengan pagi saling berjabatan. Aku kirimkan sebuah pesan singkat "Selamat pagi Intania, semoga sukses ujianmu hari ini. Allah musta'an Insya Allah." kututup untuk menikmati subuh berlanjut mencermati terbitnya fajar.
Bersambung... Insya Allah.

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part V


        Kehadirannya merupakan retorika hidup yang diajarkan secara benar-benar murni dibuat-Nya nyata di depanku, tidaklah membutuhkan imajinasi dari keinginan palsu ataupun samar dari pikiran tinggi manusia dalam menggambarkan sesuatu hal untuk mengindahkan hari yang sudah terlanjur indah, Intania dijadikan-Nya nyata didalam hadir, setelah Aku berusaha dan rela bersusah payah di-iringi harapan kekuatan keajaiban-Nya agar terjabah. Aku bukan manusia pecinta bunga tidur dimalam hari yang tersadarkan hanya dengan digugahkan tangan mendarat dibahu yang tergoyang, terjebak nikmat disaat mata terpejam karena lelah dilapuk termakan sang malam, ataupun terbangun dipagi hari dengan sadar tipuan gambaran kosong, serta senyuman sisa dari kekecewaan sambil menggerutu "ternyata hanya mimpi" setelah terbangun.

Intania adalah kasat menghijab diri dari setiap perkataan menyakitkan, dewi penjaga sepertiga malam, pemersatu didalam lima waktu, pemasrah urusan hidup untuk bersujud diwaktu duha, pencinta sunah nabawiyah dari terbangkitnya fajar kembali ke fajar. Pribadi yang tumbuh terlalu indah menurutku demi kerendahan hati dengan tampilan biasa, yang mengatakan dirinya biasa-biasa saja tetapi percayalah dan yakinlah kalian akan terkurung didalamnya menjadikan diri berkaca-kaca didepan cermin dan rasa malu tidak akan menjadi mahal, mampu tanpa segan menampar wajah kalian sampai berbekas, dimana hati itu terjembam dalam  kotor seperti Aku. Rasa penasaran yang lambat-lambat menepi di pelabuhan halus dengan wewangian tanah terasa mengingatkan serta menyadarkan setiap serat-serat hati memati, kembali menemukan hari yang hilang untuk keabadian yang mutlak akan datang.

"salam... Dit, lagi dimana?" intania dari ujung telepon berbicara.

"wa'alaikumsalam, ana lagi dirumah. ada apa ya?" balasku sembari menulis beberapa kalimat yang aku temukan diwaktu pagi.

"Mohon doanya ya? Insya Allah sabtu ujian. Syukran wassalam... " sambungnya singkat.

"Insya Allah, Aku doakan, Kataballahu lak binnajah, afwan wa'alaikum salam." aku tutup obrolan singkat itu.

Intania merupakan sebuah catatan hidup yang sudah masuk kedalam kesatuanku dimana lantai-lantai dingin akan menghangat jika dia ikut menginjakan kaki diatasnya. Aku pernah berbicara lugas kepada Intania beberapa minggu yang lalu. "Aku melakukan semua hal ini tidaklah untuk membeli suatu perkara hati, Aku melakukan semua ini karena Aku butuh, dan jika Aku lantang telah membuatmu berdosa maka tidak apa jika persahabatan ini berakhir". kalimat itulah yang aku berikan kepadanya, entah dasar apa dan dari mana kalimat-kalimat itu terlontar keluar dengan mudahnya, ataukah sebuah rotasi mimpi terbawa tanpa ada bias-bias kehidupanku? entahlah, semua tidaklah akan berjalan  sama dan mungkin juga Aku akan kehilangan Intania disaat Aku butuh. Sudahlah... hanya bisa berdoa.

Melanjutkan jalan-jalan selepas belajar, setelah seharian mengurung diri dalam rumah dengan harap rasa kebosanan itu mengembun untuk sementara, walaupun hanya sekedar meminum Juz buah di cafe dipinggir jalan besar bersama teman sembari bercerita seputar persiapan menghadapi ujian akhir tahun untuk memantapkan lagi niat-niat yang telah terbentuk dari awal, disamping meja lingkar disandingkan juz coctail dimana manis itu sengaja diungkap tersiapkan untuk orang-orang agar suasana menjadi segar. Kehidupan disini merupakan halnya cobaan didalam ujian dimana keseharian terbentuk dari suasana karakter yang berbeda, kesinambungan hidup keras didasari kelunakan hati adalah hal unik tanpa tersimpan disini. Mengkondisikan diri dengan apa yang ada agar tidak terjembam dalam lubang daratan tandus atau tertelan mentah oleh pasir hidup karena tidak memperhatikan peringatan tertulis dan tersuarakan.
.

Bagiku ini semua merupakan penantian sementara, tak ayal manusia adalah pengikut waktu dimana detik itu mendekat dengan nafas, tanpa membuang suatu hal yang lebih dekat atas nadi didalam konsep keimanan. Hari ini adalah hari ini, mengikuti sore hendak bergandengan tangan dengan malam. Tuntutan waktu yang memanglah harus diteruskan, tanpa menimbang-nimbang detik sekarang untuk berubah. karena ada suatu tatanan termaktub dalam kuasa Tuhan, yang menyambutnya dengan doa disetiap titik-titik moment penting untuk mengingatkan sikap tekun membalik segarkan niat dalam maghrib yang menyambungkan malam,  seperti halnya subuh yang menjadi salamnya malam untuk membangunkan siang dan siang untuk menidurkan malam, sebuah contoh kesetiaan paten yang konsisten tergambarkan dari Sang Maha Agung untukku.

Setengah jam berlalu, maghrib menuntun membawaku dan teman-temanku beralih pandang menuju gerbang kemenangan tidaklah jauh dari cafe, hanya 50 meter kurang lebihnya. berjalan memenuhi jalan berbaris sejajar, seolah jalan hanya milik kita berlima, sampai diatas shaf salatpun tidak terlepas membaris sejajar. Kesatuan inilah membuat hati merasa dekat sedekat kerabat, menuntun baik serta saling mengisi dimana kekosongan dijadikan Raja. "Temanku adalah alarm hidupku", mungkin itulah kalimat tepat disini dan untuk saat ini. Disaat hari-hari menjauhkan lahir sementara antara Aku dengan kenangan keluarga diatas rakitan-rakitan kerinduan yang terus saja bertambah dalam rangkaian bersambung. Alhamdulillah masih ada kepedulian disekitar membukakan serta mengasah hati tumpul menjadikan tajam. Maghrib hari itu sudahlah berlalu terbawa waktu mengantar pulang kerumah melanjutkan aktivitas seperti biasa, belajar, bercerita, berkarya dan mengejar penantian yang terkumpul,  sedikit demi sedikit terkurang diri berjalan ditemani jarum jam terputar lingkar ke arah kanan. Melanjutkan dengan media pesan Aku kirimkan untuk Intania berisikan do'a dengan harapan kesemangatan agar tidak memudar.
Seutas meditasi keindahan hari ini berhasil mencampurkan kagum beserta syukur  menghasilkan hati untuk bersiap diri diwaktu rasa kehilangan berhasil menjemputku disaat nanti, disaat mulut terdiam enggan lagi bersuara walau untuk kalimat sapa, mungkin juga akad akan mengikatnya suatu saat nanti memaksa sahabat untuk pergi. Sudahlah itu semua hanyalah ketakutanku juga kegembiraanku dalam cerita. Aku terlalu jauh untuk membaca, saat ini yang harus Aku lakukan adalah memperbaiki diri menjadi pribadi yang baik juga berusaha menemukan kenyamanan berjalan diatas jalan sang Rabb pemerhati segala hati.
Insya Allah bersambung....
»»  READMORE...