Cari Blog Ini

Tik Tok Tik Tok Tik


"Aku halnya manusia yang mengambil satu dari tujuh kehidupan, mengambilnya karena yakin dalam pilihan." Bicara dengan kata seakan-akan.

Jika bicara hidup, Aku akan menjawab. "Hidup itu masa depanku dan juga masa laluku."

Aku bertanya kepada diri sendiri setelah melihat sekumpulan awan yang berpindah, tepat dibawah siang mulai tenggelam.

"Awan itu berlalu, awan selalu berganti bentuk menuruti keinginan angin bertiup." Jawab hatiku disaat itu.

Aku melanjutkan untuk berfikir, ternyata dunia itu berputar didalam diriku sendiri dan juga orang-orang didepanku saat ini. 

Aku mencoba menjawab, entah salah atau benar diatas skala rumit saat ini. ''Terlalu banyak matahari yang terbuat didalam diri kita.'' jawabku memberanikan.

''Waktu tidaklah padat membutir, tidak juga membeku tapi mencair. Jam memanglah tidak berubah bentuk dalam kasat, dia akan terbang seperti angin, seperti udara yang kamu hirup.'' Itu kata waktu.

''Oh hidup itu ditemani detik rupanya.'' Jawabku bodoh.

"Masihkah kamu mencari keberuntungan didalam kebohongan?" Tanya sang waktu kepadaku.

''Iya masih, Aku masih saja membohongi untuk mencari keberuntungan dan keselamatan, rela merugikan orang lain agar aku selamat.'' Aku jawab dengan Egoku.

"Aku menyesal menemanimu, berubahlah sebelum terlambat. Sebelum aku berhenti menemani nafas diduniamu.'' jawab waktu yang selalu saja sabar.

''Janganlah kamu berbicara seperti itu. Hai sang waktu, Aku masih belum sanggup jika Tuhan mengambil satu detikmu dari detakan jantungku." Jawabku menunduk.

"tik tok tik tok tik tok.'' Sang waktu hanya menjawab dengan suara detupan mendetik.

''Aku masih takut.'' Tambahku dan berakhir.


»»  READMORE...

Sebuah Cerita Untuk Tita

Hari libur adalah hari yang pas untuk sekedar mencari suasana indah kota kairo, terutama pagi hari dimana mata-mata masihlah banyak yang tertutup bermanja-manja dengan ranjang. Tubuh mendadak ingin mencari hangat setelah melihat sepeda didalam rumah berdiri seperti memanggil. Terbesit sesaat "menggayuhkan pedal sepeda dengan harap mempercepat jatung agar darah mengalir lancar tidak tersumbat, sehat sehat sehat.'' sugesti hati untuk berbuat. ''Bersepeda pagi!!'' mantapku. "Menyisir jalan sewaktu pagi disaat debu belumlah sempurna mengapung tertebas lajunya mobil, ataupun melayang tertiup angin, apalagi udara baru terbangun sayu-sayu terterobos laju sepeda dengan tubuh berkulitkan jaket coklat tua kain parasut, pasti sangatlah indah." batinku menambah sebuah opsi untuk mengikatkan tekad. Berharap dengan itu menunda tubuh agar tidak cepat bersatu menyatu menjadi tanah, setidaknya menyegarkan kesemangatan disaat garisan mutlak  penuh dengan tuntutan hidup menjadi baik. Menggayuhkan setiap kepergian dengan kesemangat sebagai pembuka hari.

»»  READMORE...

Mendengar Ke-galau-an Setan Dalam Kufur


Menelusuri malam dengan berjalan, berbaris acak disadar jalanan bukit tinggi menggelap. Disaat angin musim panas sedikit terlupakan, panas dari hembusan nafas neraka merarik-narik setiap busurnya. Berbagikan cerita dengan helakan tawa keras dalam tangis, tanpa tau akan hulu dimana itu berakhir. Berjalan jauh se-enaknya kaki melepas hati, tersandingkan kegilaan foto-foto terbidik atas keindahan kekekalan ter-pimpin dibawah rona lampu-lampu malam pemakaman menambah hias, hal kosong tidak terpengaruh untuk bisa membungkam apa yang ada didalam lesungan hati. Aku meyakini malam yang bisa membakar kecemburuan ini disaat datang, membutakan setiap amarah tidak tertahan disaat menjilati anak adam mulai kembali bernyanyi. Ketidak pedulian kembali mengambang bergoyang-goyang diatas air tidak kunjung tenggelam. Kedalaman cinta yang salah memberantas semua kepekaan hati dimana selalu saja ingin bercerita. Hati biasa ter-peras habis dimana rasa tidak bisa lagi diarahkan. Keringnya hati karena lemas terlalu lelah mengeluarkan keringat. Air tidaklah lagi menjadi pengobat haus dan kepanasan, tetapi hanya menjadikan jalan menjadi susah karena pasir berubah menjadi lumpur hidup, yang siap menelan setiap hidup menjadi tamat.

"Aku merindukan hati yang bisa membuatku termanjakan oleh se-ikat rasa, bukan derita!"

"Setiap sudut Aku berusaha agar bisa terjaga terbangun dari sentuhan sepi menggiring karena letih telah menjaring."

"Melepaskan setiap lahirnya rasa, tanpa ada satu saja hadir tersimpan walaupun sejenak berparkir."

"Matahari yang terbit pagi tadi sudah berhasil membuatku kecewa, dan dari setiap detik yang baru saja berlalu, tidak ada yang bisa mengindahkan dunia."

"Biarlah malam ini aku bercerita tentang nuansa tertebas karena terbang terbawa angin yakin akan tersesat"

"Hariku adalah mimpi burukku disaat bernafas, dengan dada yang aku usahakan tegar tapi tertebas."

"Mau Kau kemanakan Aku ini Ya Tuhan! bukankah Aku percaya kepadaMu akan kuasa."

"Engkau telah membawaku lari jauh kesini, Aku selalu yakin Engkau tidak pernah meninggalkanku setelah sejauh ini berlari."

"Membiarkan Aku menjadi busuk tanpa arti, diatas kegelisahan hati yang terus saja terberi tanpa Aku pernah meminta."

"Jeratan api panasMu telah tergambarkan dalam cerita, meleluhurkan ketakutan kematian disaat abadi."

"Lahapan lahar mencabut nyawa diatas Malaikat datang menyiksa setiap rongga kulit sampai ke sum-sum."

"Akankah ada nafas kedua dimana kehadiran perubahan menjadi baik, setelah nafas pertama salah terambil."

Anak Adam telah berdalih dalam dzikirnya, bertasbih selayak malaikat bertasbih. Keadaanku mulai tertatih disaat AyatMu mengudara jelas, menusuk pati hidupku menjadi Raja. Kegelapan tidaklah bisa membeli terang yang Engkau takdirkan, melawan hambaMu yang bertaqwa membuat senyawa berapi-api itu terpadam. Penyesalan kekufuranku yang telah menutup gerbang surgaMu, keindahan kehidupan nyata menjadi Iblis mengharapkan surga tetapi bukan untukku, Aku lelah membayangkan kegelapan akhir. Ketakutanku akan kiamat dikala neraka semakin mendekat. Termamamah panas meleburkan tubuh berulang-ulang yang tersatukan lalu terpisahkan, yang tersatukan lalu terpisahkan, yang tersatukan lalu terpisahkan berkutat di satu tempat tanpa ada titik yang menjeda.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VII

Hari yang sudah terlewat, menyisakan cerita terjejer diantara beranda-beranda hati yang menghangat lebih. Putih masih saja terjaga dengan putihnya. Suara gesekan biola terlebih sudah menuntunku jauh membawa imajinasi, meningkatkan pikiran untuk lebih menggali apa yang ada dihadapanku, yang harus bertatap wajah tanpa bepaling atau lari untuk menjauh. Berargumentasikan tidak akan berlari seperti pengecut yang takut mati di tengah medan peperangan harga diri. keheningan seperti ini pernah aku temukan disaat berlibur di Indonesia beberapa waktu yang lalu, memandang jauh ketengah danau untuk menghilangkan taring-taring dari sekian kejahatan dan kesalahan hampir mengakar dalam hidup. Danau yang menghijau ditengah-tengah, serta hiaasan warna biru bak ketenangan terpancar didalam kedalamannya yang misterius diantara pepohonan mendamaikan racikan esensial alam menjadi-jadi. Perkara hati seringlah terbelalak mata, membuka setiap rona-rona tajamnya hasrat didalam nafsu menitik tidak terarah membaur bersama menjadi satu. Disaat itulah penyesalan aku utarakan didalam perantaraku dengan Tuhan. tanpa satu pucuk dari dosa aku sembunyikan, dengan cara berbicara ditemani alam menjadi kebiasaan yang sangatlah berarti untuk memperbaiki hidup. Rintihan hati seiring dengan nada-nada angin berhembus mematangkan setiap telisik detik menjadi awal untuk membaikan suasana, kedamaian hati seringlah tersingkir didera ratapan sebuah ingus dari kehidupan yang memekar. Terlebih disaat menantikan kehadiran setiap corak hati bersih untuk memeluk cinta dengan pribadi yang indah ada tersedia untuk bersanding melawan setiap hukuman-hukuman perihnya nyata diatas tanduk agar terselamatkan dan tercurahkan barakah dari setiap jalan yang terlewat tanpa harus menghindar karena takut.

Hati yang menanamkan serta memahamkan ritual tepuk tangan setan sering hadir telak terbahak diatas tawa-tawa kemenangan salah memucuk tinggi, seperti ketukan vonis mati didalam pengadilan hidup. Air mata bisalah menjadikan ganti sementara atas penyesalan sebelum bertindak mengisi, mengantongi setiap jeritan agar tidak tertumpah ruah serta aman terjaga. Banyak hal yang mengatakan kesalahan adalah manusiawi yang wajar, tidak lain hanya membenarkan kesesatan agar terulang mendulang setiap kering agar tidak harus membasah. Hati-hati seperti Intanialah yang mampu berkata dengan ludas dimana itu adalah kesalahan mutlak yang harus dibayar dengan pengorbanan untuk membersihkan diri, menjauh serta mengganti dengan hal bermanfaat dan ada tujuan pasti Lillah. Aku menyimpulkan banyak hal dimana kesucian itu lahir karena setelah menelan mentah-mentah sebuah air suci, air hanyalah sebagai materi penghilang haus meneruskan kehidupan. Lurusnya kehidupan tercipta karena kesadaran diri untuk berbuat menjadi baik tanpa ada sedetik kalimat atau perbuatan menjerumus untuk kedua kali terulang, Allah Tuhan semesta alam pembuka setiap hati disaat gelap, pengampun setiap dosa-dosa yang menggila.

Malam terus termuliakan diatas gelap semakin menengah, buku yang tertumpuk sudah berhasil terbayar lunas tepat itu. Muhasabah sebelum istirahat telah menuntun setiap gerak, menyisakan banyak hal yang harus aku buang menjadikan pribadi yang baik untuk mendapatkan hal yang baik. Mendatangkan kehidupan yang layak sebagai manusia berkhlak, menjadikan itu tanpa hanya ada dalam bisikan semata. kehidupan seperti itulah yang aku temukan saat ini dimana aku lebih bisa mengenal dekat Intania Putri Maharani. sedikit-demi sedikit Dia telah berhasil membungkus dan mengubur dalam setiap hitam datang. Dia menjadikan ku putih, seperti hendak mendaki pegunungan terjal yang serat akan batu terjal tertumpuk mengisi sudut sudut kematian datang mamuncak. Intania akan hadir dengan sambutan tangan terikatkan kain untuk menarikku menjemput keindahan diatas puncak, tanpa tertutup dari setiap senyuman yang diberikan, senyuman yang mampu memecahkan kaca-kaca awan disaat menggelap karena hadirnya mendung. Hadirnya mengusap setiap kerinduan terang atau sebatas angin yang menyapu kabut menjaga setiap hati untuk senantiasa hangat disaat pagi. Harapan demi harapan tercurah tertumpah hebat, nafkah dari sebuah keinginan hati disaat terkufur oleh nikmat. Jeritan hari semakin terhilang mulai sayup menjadi hilang tidak berbekas, Kekuatan dirinya yang terpancar dari keajaiban iman terlukis erat berlari bersama nadinya, mennterjemahkan hari untuk berbuat lebih baik tanpa menjadikan diri terjebak hina. seperti mustika langit didalam arti nama yang terbuat "Maharani" dimana keluasan Tuhan tidak terbatas diatas sana, diatas langit yang terbentuk tujuh terlapis.

Kehidupan sangat mudah untuk tertulis, tapi tidak dalam setiap geraknya itu terpilih, Aku jujur mendalami ketakutan yang sangat akut dimana kediamannya menjadi bahasanya, apalagi dari setiap tetes air mata terlihat yang mana menurutku air matanya adalah hal yang sangat mahal untukku dalam tawar. Menuliskan bahasa diam adalah kematian memucuk di alam hidup, karena adanya Intania menjadi ghaib samar tanpa terlihat kasat oleh mata. Kediaman yang berhasil mengimajinasikan diri menjadi rapuh tanpa adanya suatu bentuk, karena Intania adalah segelas air diatas gurun panas membakar telapak kaki tersesat dalam langkah meraih setiap tujuan iya itulah intania. Terlahir lebih dari sekedar oase bagiku ditengah kerumunan haus membagi dari setiap potongan tubuh yang terlelah. menjaring setiap asa agar terangkut ke atas untuk dibuang. Pengingat waktu seperti adzan membuka suatu waktu untuk berdiri menuanaikan shalat. Aku tidak suka jika kesedihannya terlalu dalam terlarut.

Bersambung Insya Allah...
»»  READMORE...

Azka dengan penantiannya


Namanya Azka lengkapnya Azka Rahman, lelaki yang tinggal disebuah flat lantai 5 didaerah game' resort, Azka yang sering kedinginan diwaktu malam (emang pas musim dingin) diawal bulan desember ini, seorang Mahasiswa Indonesia yang diminta keluar negri untuk menuntut ilmu (istri juga .red).  Sore ini mendekati maghrib, terhitung seperempat jam sebelum adzan tepatnya, yang mana waktu pas untuk bersantai menanti buka puasa. Diruang depan dalam flatku masihlah berlangsung sekelompok putra-putri bangsa pecinta kajian yang dimulai dari jam 03.oo pas setelah ashar, sampai saat ini masih terlihat hangat dengan materi yang diulas terbawa hikmat seolah-olah menghipnotis setiap gerak disekitarnya, terlihat duduk memutar saling berhadapan. Sedikit obat untuk mahasiswa dan mahasiswi akademistis. Sedangkan beberapa puluh kilo dari sini ada seorang sahabat azka namanya Intania yang sedang menyendiri (kabarnya si, lagi meditasi tingkat tinggi) nah artinya ada masalah saat itu alias galau, hal itu aku bilang wajar untuk orang seperti dia, orangnya biasa-biasa saja (tapi oke), suka coklat sampe warna-warnanya, berwajah sedikit tembem (cerminan waktu kecil kayaknya imut) agak galak bisa juga jutek dan banyak nyebelin apalagi pas memakai baju hijau, hmmm diledekin sedikit siap deh cecet cowet, tapi asyik. eiiits satu lagi, "suka manyun" sampe pas waktu tadi sore dia ditunjuk sebagai moderator agak manyun-manyun (sadar ngga ya? heheheehe), BTW lucu pisan ngeliatnya.

Kembali kecerita, waktu itu Azka dan Dia menjalankan puasa 10 muharam Alhamdulillah, sehari sebelumnya Azka menelpon sahabatnya itu menanyakan tentang puasa atau tidak? "Insya Allah puasa, eh ngga tau lah ya?" sepotong sesi pembicaraan jawaban Intania diwaktu itu, biasa kalo bilang suka seperti itu, bikin senyum diawal eh bikin manyun diakhir (makasih dah kenyang? .red). dia punya mantra ajaib yang bikin kesel kalo ditanya sesuatu hal, "ga tau lah ya? hehehehe" lengkapnya ucapannya seperti itu, dengan tertawanyapun bisa dihitung seringnya empat persis seperti yang tertulis. (jadi inget telenopela betty lapea). 
15 menit sebelum maghrib misscall dari dia, sebelumnya Azka memang sudah misscall duluan pas jam setengah empatan. (misscall misscallan .red). Aku akhirnya menelponnya dengan pertanyaan persis seperti lagunya kengen band (@lay banget) 

"salam... hey mbem lagi dimana? dengan siapa? sekarang berbuat apa?" sapa Azka tanpa koma didalam telegram, (telepon maksudnya .red). Azka memulai percakapan disore itu.

"wa'alaikum salam, hehehe ana di wisma, sendirian dan lagi pengen menyendiri aja?" jawab Intania pas seperti apa yang azka tanyakan (tumben).

" yaaah... kok disana si, ngga di asrama, terus ana gimana dong, kemaren kan ana dah bilang? eh emang mau cuti asrama ya?" sambungnya memperjelas sambil sedikit terheran-heran azka menjawabnya dengan ragu.

"mmmm gimana ya? sekarang ente dimana? ana ngga cuti kok Insya Allah, sudah kebanyakan cuti hehehe" sambung intan dengan balasan balik tanya. (memang mahasiswi satu ini super duper sibuk dengan kepanitiaan ngga disana ngga disini).

Azka :"waduh, ana masih dirumah, mau nganterin nih tapi ente juga diwisma, trus gimana dong? ntar turun di game' saja ya, soalnya bentar lagi buka puasa nih?

Intan : "mmm ngga tau lah ya? masa ntar ana turun di halte game' ntar ana dua kali naik mobil dong? eh emang maghribnya jam berapa si terus jam berapa sekarang?

Azka : "yah dodolnya kambuh deh, sudah sekarang gini saja ntar kalo dah nyampe deket game' telpon ana biar ana siap ya? ohya maghribnya sekarang jam 10 (sambil heran tingkat dalam) masa ngga tau maghrib jam berapa bu? jam 5 lewat dikit benget dah masuk maghrib, sekarang dah jam 5 kurang 15 tuh? cepetan pulang bu?"

Intan : "oh gitu ya kalo gitu ana sambil jalan deh, hehehehe ya deh ntar kalo dah sampe deket game' ana misscall ya?"

Azka : hu uh deh, eh emang di wisma ngga ada acara ya? kok sendirian disana?

Intan : "iya nih para pengurusnya lagi jalan jalan ke dufan (Dunia Fantasi .red), tapi yang cowoknya aja, cewe ngga, ohya gini saja ntar ana tunggu diterminal 10 saja ya gimana? ."

Azka : "ooo gitu to, lagian kalo tembem kesana juga dah 2 kali (bosen). eh cepetan ya? ya udah ntar ana tunggu di terminal 10 kalo gitu, tapi dengan syarat ana ngga mau ke asrama, ngga enak keseringan sama abang satpam, tuh kan adzan? denger ngga?"

Intan : masa iya dah adzan, kok ngga kedengeran ya? hehehe ya ntar gitu aja, nyari makan yang siap saji aja biar ngga lama ente nunggunya"

Azka : hu uh deh, eh masa belum adzan disana, hapeku saja sudah adzan masjid samping juga sudah tuh masa dari situ ngga kedengeran, ah ngga mungkin?"

Intan : "belum nih gimana dong?"

Azka : ya udah ana adzanin nih.. Alllahu akbar allahu akbar, dah tuh?

Intan : hahahaha iya dah adzan, dasar ga jelas huuuuu?"

Azka : hehehe lagian masa ngga ada adzan disana?
ya udah cepet batalin puasa dulu gih?

Intan : iya nih lagi beli air, di warung deket jalan sambil nunggu bis, iiih bisnya penuh semua tau?

Azka : sip deh kalo gitu, ana mau mandi dulu ya? hehehe deritamu, met berpenuh-penuh dalam bis ya?

Intan : iiiih dasar hahaha iya deh mandi sana, ntar ana misscall.

Azka bergegas menuju mandi dan melangsungkan shalat maghrib, diteruskan dengan shalat di ruangan tengah dalam flatnya. dengan diikuti oleh sebagian teman-teman kajian belajar, yang lain masih antri untuk mengambil wudhu saat itu. setelah selesai maghrib dia bergegas menuju resto indonesia yang memanglah cukup dekat dengan flat. sesegeralah dia memesan 2 porsi makan terbungkus rapi. 20 menit lebih sudah berlalu azka kembali menanyakan sudah sampai manakah Intania berjalan dari wisma menuju asramanya, sambil membeli 20 coklat pasta kesuakaannya, dan ternyata baru sampai ke distrik 4 waktu itu, masih terhitung beberapa puluh menit untuk sampai ke asrama, itupun jika tidak terjebak macet. Azka bergegas menuju halte game' untuk menuju terminal 10, yang terletak tidak begitu jauh sampai untuk hari biasa terkadang azka memilih untuk berjalan kaki ke daerah 10 untuk sekedar menyegarkan suasana ditengah debu-debu tanpa segan untuk tebar pesona dihadapannya. menaiki mini bus menuju terminal 10, ini pir duitnya setengah pon dibayar tunai. azka yang sudah duduk nyaman didalamnya berbanding terbalik dengan Intania dalam perjalannannya didalam bus yang penuh sesak. (faktor amal perbuatan .red) "kasihan deh si tembem hehehe" ucap hati azka mulai sirik dengan keadaannya saat itu. sesampainya azka di terminal 10 dia langsung mencari handphone untuk segera mengecek Intania yang masih didalam perjalan.

Azka : "Hallo, dah nyampe mana nih?"

Intania : "azkaaa gimana nih macet, ana lewat distrik 8, mana iiih sesak banget lagi didalem?

Azka : nah kok lewat distrik 8 si? pasti macetnya minta ampun kalo jam segini lewat sana? haduh masih lama dong ceritanya, bencana deh, ana dah sampe terminal nih? kok ngga lewat distrtik 7 kaya biasanya?

Intania : Ana ngga lewat distrik 7 soalnya tadi busnya penuh minta ampun. hehehe tenang saja, ana dah jalan nih dah jauh banget didepan bus yang ana naikin tadi, tapi aduuuh mana belum shalat maghrib lagi haa.. ibuuuu....?" (kebiasaan kalo lagi situasi susah kaya gini nyebutnya Ibu hehehe .red)

Azka : " hahahaha Ibu dirumah, ngga kemana-mana Insya Allah sehat. bukannya di doain malah dipanggil-panggil hehehe, Alhamdulillah deh kalo sudah jalan mah, naik taksi saja mbem? shalat dulu gitu lho... setengah 7 lebih sepuluh dah adzan Isya soalnya. tau letak masjidnya kan?"

Intania : "iya gimana dong? ana ngga tau masjidnya dimana ? hmmm pegel nih kakinya tau?"

Azka : "hehehe ana juga ngga tau mesjidnya tepatnya dimana soalnya masuk2 juga si? jadi lupa. Ya udah cepet sampe ke asrama saja, make taksi kan cepet, ntar ana tunggu di deket pom bensin saja ya?"

Intania : "aduh azka maaf banget ya? jadi ngga enak hehehe. lagian coba tadi ngga usah?"

Azka : "yee kebanyakan maaf, ngga mau ah... lagian dah biasa dijahatin sama ente tan? hahaha. ngga usah gimana, dah terlanjut dodol?"

Intania : "hahaha emangnya ana gitu ya, kaa... belum nemu taksi? terus ntar kalo terlambat gimana, kena denda dong?"

Azka : "waduh ngga nyadar lagi, dah jalan lagi terus kedepan, Insya Allah ada. emang kalo terlambat kena denda gitu? ohya ana beli coklat pasta, setiap ana nunggu 5 menit jatahnya intan ana makan 1 hehehe."

Intania : "nah kok gitu si? hahaha gapapa yeee makan saja sana ngga nyesel kok wee, kaa kena denda 5 pound kan sayang tau? apa cuti saja ya, gmana menurut ente?"

Azka : "iya bener nih ana makan butuhnya  5 menit 1 coklat asiik hehehe, eh cuma 5 pound saja ngga masalah ngga usah cuti atuh, biar ana yang bayar ntar. ana tunggu nih".

Intania : iya deh hehehe Alhamdulillah dah dapet taksi nih? dah dulu ya ntar ana misscall lagi deh hehehe

Azka : hu uh hati-hati dijalan.

Intania : iya, Insya Allah.

Tidak terasa sudah 8 coklat azka habiskan, 7 kalikan 5 berarti sudah 35-an menit dalam masa tenggang. (menunggu .red) baginya adalah upaya pengebalan tubuh melawan dingin diluar rumah, cukup membosankan memang, disamping pom bensin seperti setrika mondar mandir dari utara keselatan jika bosan dalam duduk manisnya disamping mobil truk yang sedang menunggu angkutan. Azka kembali menunggu janjinya intania untuk sekedar misscall, dalam hatinya mulai muncul keraguan. Dalam hitungan waktu tempuh yang sebenarnya tidak lebih dari 20 menit untuk sampai ketempat azka menunggu waktu itu. tiba-tiba Intania kembali misscall dan sengaja Azka matikan waktu itu. Bergantian azka untuk segera menelpon Intania sambil menenteng tas plastik hitam bingkisan makanan yang kurang lebih 1 jam menempel ditangannya.

"Hallo, dah sampai mana?" Azka mnyambug kembali menjadikan babak pembicaraan dalam telepon.

"hehehe ana dah sampe di belakang asrama nih lagi jalan, ente dimana?" jawab Intania dengan lembut. (selembut sutra .red)

Azka paham diwaktu itu dimana dia sedang hebat mengejar waktu shalat maghribnya sebelum isya itu datang menghabiskan sore bergantikan petang.

"ya Allah ana masih jauh dibelakang, masa ngga kelihatan si? intan make baju apa? ana dah sambil lari nih?" sambung Azka kembali.

"lagian tadi ngga keliatan coba azka dimana?" dengan nada sedikit terengah-engah dalam nafas pertanda cepatnya Intan berjalan.

Azka : "Ya sudah ana kesana secepatnya jika tidak tersusul, tinggal saja dulu untuk shalat. ana tunggu di belakang asrama."

Intania : "ya deh, ana dah sampai asrama dah dulu ya, takut ketabrak Isya, ana mau shalat di lantai 2 kok, ngga langsung kekamar?" (lantai kamar Intania tepatnya dilantai 6)

Azka : "iya ana tunggu sampai selesai shalatmu."

Azka mendesah sedikit dalam nafas, "kenapa tadi Intan ngga sempetin untuk hubungin dulu ya?" hatinya berbicara sambil duduk diatas beton garasi dengan dihadapkan tanah kosong bekas bongkaran bangunan. sambil menunggu ditambahkan 1 coklat dia ambil menjadi genap 8 coklat berhasil terhabiskan. Sambil setia menunggu panggilan nada dering kesayangannya, milik band ganstarasta dengan hilang judul tepatnya. Malam itu cukup memberikan banyak gambaran diotak kirinya, disaat tukang bengkel masih saja disibukkan dengan mobil-mobil setia menjadi pasiennya. dibelakang asrama Intania memanglah banyak berjejer bengkel-bengkel membuka lapak, entah sampai jam berapa mereka bekerja. Beberapa saat kemudian gangstarasta pun bernyanyi dalam handphone ditemani sebuah gambar foto Intania tersenyum dalam layar memakai baju biru langit dengan menghadapkan tubuhnya kesamping, hanya wajahnyalah yang menuju titik fokus potret diwaktu itu. Sebuah foto yang pernah dia ceritakan beberapa bulan yang lalu lewat sebuah jejaring sosial, dimana sedang bercengkrama dengan keluarganya ditepi sebuah pantai, terlihat Ibu menyuapkan nasi ke adiknya paling kecil seumuran kelas 4 SD menjadi background pemandangan foto indah Intania. Agak lama Azka tidak mengangkatnya sampai benar-benar Intania mematikannya handphone miliknya, terlihat tidak kesengejaan melintasi bawah sadar dimana Azka tidak pernah merasakan indahnya rekreasi bersama keluarga seperti dalam foto milik Intania. Sebelum Azka membalas kembali untuk menelpon ternyata suara nyaring intania merubah segalanya. "Azka!!! ana di gerbang cepetan." Azka tanpa lambat langsung menuju ke gerbang asrama dimana hal yang tidak seperti yang direncanakan sebelumnya. Langsung memberikan bingkisan tas plastik hitam yang telah setia menempel dengan tangannya 1 jam lamanya. Intania terlihat tersenyum dibawah remang-remang lampu gerbang dengan bantuan lampu jalan menjelaskan warna baju yang dia kenakan waktu itu.

"nih maaf, met berbuka puasa ya? sekalian buat vina" Ucap Azka.

"iya makasih ya? aduh maaf banget azka?" susul Intania dalam jawabnya. 

"iya sama-sama, eh kena denda ngga? hehehe" jawab azka dengan senyum menatapnya tidaklah lama.

"hehehe ngga kena, penjaganya lagi baik Alhamdulillah?" jawab Intania dengan wajah takut sudah menghilang dari ikatan senyum yang dia pamerkan, setelah berlari mengejar waktu terdesak kemacetan kota.

Azka berucap salam dan pergi.
Terlihat sekilas Azka dengan senangnya berjalan pulang menerobos dingin, berpuas diri setidaknya Dia berharap apa yang ingin Dia sampaikan tak lain hanya untuk berbagi, 1 jam lebih menunggu adalah sebuah metafora keindahan untuk terukir agar bercerita.

Sampai berjumpa kembali Azka, setidaknya penantianmu dihari itu tidaklah sia-sia. Semoga Intania selalu mendo'akanmu, seperti dirimu yang selalu mendo'akannya setiap shalat dan malammu.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VII

"Sisa-sisa dari tenaga yang telah terpacu Aku arahkan untuk melewati sebumbung kegetiran, rindu pastilah tertumpah ruah, entah berapa hati yang sakit tertimpa suatu perkara hidup selalu saja setia menghimpit. kekuatan dan kesabaran terus saja berdalih untuk menantikan ujung dari sebuah kenikmatan yang terjanjikan sebagai hadiah bagi semua orang yang mampu berlayar dalam bahtera hidup masing-masing. jikalah hidup seperti gerimis malam yang dinanti-nantikan pasangan pengantin baru yang menyebutnya sebagai pendatang kemesraan lebih didalam hubungan, tentulah bisa bersandar akan peristiwa syukur didalam bertafakur. Aku harus bersabar dan Aku harus kuat dalam sikap." itulah yang aku tuliskan didalam notebookku, karena berpuluh kali membolak-balikan buku serasa tidak berujung segera habis. Sudahlah yang terpenting hari ini Aku katakan "Selamat siang duniaku, semoga hari ini Intania bisa menjalankan ujiannya." puasaku hari ini terasa lebih menyenangkan dimana harapan didasar doa masihlah berharap menuju pucuk harapan untuk terjabah, dengan kutitipkan Al-fatihah telah tercoba. disela belajar dan menunggu kabarnya lewat telepon tentang bisa atau tidaknya dalam menjawab soal ujiannya.

disamping-samping hembusan nafas penuh asap telah bergandeng bersama angin, tukang kebun dibelakang rumah kembali membakar sisa-sisa dedaunan gugur, tanpa kita tahu akan perjuangan udara membersihkan kembali agar sehat terhirup dan rela bercampur mengorbankan asap kotor menjadi bagian hidupnya, menghadirkan kembali udara segar tanpa meminta pujian serta jaranglah diingat. mungkin disaat itu hanyalah daun itu harus bersih untuk taman dikebun agar selalu indah bersih terjaga. Aku ingin bisa menjadi udara dalam sahabat hari ini, karena Intania telah memberikan kebiasaan yang sangat berarti disaat dia bercerita. membagikan pengalaman hidup indah yang akan terdengar tidak akan pernah ada peran kebosanan dikala aku mendengarkannya. Aku tidak tahu mengapa ini terjadi, karena aku sendiri bukanlah sesosok pendengar yang baik, darinya Aku menemukan fungsi dimana telinga dalam hakikat itu bergerak. dengan sedikit ulasan merombakku dengan tanpa sadar, kebiasaan baik sering aku contoh dari dia. entah dengan jadwal keseharian ibadahnya mau berbagi denganku. Dialah pembawa keabadian manis diatas langit nanti.

Aku memanggil jiwaku agar saling berbagi dengan jasadku saat ini, tidak lain untuk sebilah harapan janji kesetiaan dalam kebaikan, yang mana akan aku gunakan sebagai perisai disaat putus asa datang menyerang mengepung penuh disaat belajarku siang ini. menjauhkan kekhawatiran berlebih menjadikan mati gerak sepasang kaki, juga untuk menyadarkan bahwasannya episode kehidupan pastilah berganti dan semua tidak sama dan tidak akan pernah menjadi sama. Aku gayuhkan lebih kencang untuk bacaanku, sambil menabur do'a agar bisa menjadikan barakah. 2 1/2 jam tidaklah terasa beralihkan pandang saat muadzin memanggil serta menyambut dzuhur dalam nyanyian. Keheningan kota menjadi-jadi bersama panas disiang itu, mengasihi dari setiap suara yang diciptakan berjalan keluar menaiki sebilah keseharian saling terbuka dan tertutup. seperempat jam setelah rutinitas dzuhur itu berlalu. Aku mendapatkan kabar dari Intania, dengan membuka setiap harap agar selalu bisa menjawab seperti apa yang dia usahakan untuk masa depan. cukup gembira dengan kalimat "Insya Allah" menenangkan hari menggunungkan kesemangatan untuk mengejarnya dihari esok. Alhamdulillah telah hadir dalam batin bahwasannya kemampuannya hari ini merupakan anugrah indah untuk setiap serpih perjuangan tersebar. Membayangkan Ia tersenyum sudahlah cukup tanpa bertemu walau tanpa sengaja berpapas dijalan, atau sekedar menemani belanja beberapa sayuran di pasar-pasar. Tuhan, berilah hamba kekuatan untuk bisa memberikan sedikitnya sejuta ruang, untuk bisa menampung semua cerita Intania selama Aku masih bisa mengenalnya.

Bersambung... Insya Allah.
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part VI

Dari setiap do'a Aku langit-kan untuknya, tiada lebih hanya untuk meminta ke Tuhan dimana Intania berarti dalam. Berdo'a bagiku bukan merupakan kiasan manusia karena pasrah, tapi ini usahaku dimana kulit tak bisa tersentuh, dimana pandang tidaklah harus mendekat dan inilah yang aku lakukan. Keselamatan serta kebahagiaan untuknya dari awal mengenal intania sampai nisan tertuliskan nama nanti, entah namaku ataupun namanya disana. Sepenuh dari cahaya memberikan harapan sebuah kehidupan yang menjadikan warna terlihat, mungkin seperti itulah do'aku untuk intania. Hari ini tepat jam 03.oo pagi, mata Aku paksa untuk terbuka agar bisa memeluknya dalam do'a, sembari bercerita dengan Tuhan atas perkara akhir setelah wafat yang mana masihlah terkurung, belum ada secuilpun kata sempurna dihadap-Nya, dalam tolak ukur hamba dengan Tuhannya. Dari semua perih untuk semua hati dan seberkas cahaya nikmat hidup, dimana kematian disetiap helaian hari teruslah berkurang menjadi dekat. "Aku mengambilnya hanya untuk amanah didalam sahabat", iya kata hatiku mantap dan Aku antarkan usaha menjadikan puasa dihari ini untuk wasilah doa kemudahan ujian Intania.

Selama ini aku tidaklah pernah memusingkan diri dimana waktu akan menggambarkan perpisahan aku dengan dirinya, karena sejujurnya diri masihlah takut. "Apakah ketakutan itu harus diikat menjadi penghias mata setiap harinya?" kalimat batin membisik jelas seperti angin yang mendinginkan telinga ketika berhembus. "tidak." jawabku didalam nurani terucap berontak dan tanpa paksaan membuka mulut tersalur oleh nurani tanpa kesengajaan, menggeliatkan mata lain melihat dengan sosokku menjadi objek. Memancingkan kalimat sapaan "kenapa?" dua dari temanku memandang heran terkagetkan suara. Aku terdiam hanya bisa membalas senyum menjadi ajang pemeran gigi diantara teman-teman yang masih terjaga dengan buku. Ini semua hanyalah perkara antara ada dan tiada, bahasa baku dengan akrab saling bertautan meracik satu kerena hakikat. "sudahlah menerjemahkan itu semua tidak akan ada habisnya". Ucapku dalam hati mencoba menasehati diriku sendiri agar kembali terfokus serta tidak terlupa akan loyalitas kepada diri sendiri yang menjadi tanggung jawabku saat ini. "Karena Aku sayang akan diriku sendiri", dimana kalimat mantra penggugah hasrat disaat melemah tanpa segan terhadir didalam rutinitasku, ini adalah sebuah celoteh mengisikan pikiran sementaraku saja.

Suasana pagi yang mendamaikan, seperti Ayah yang melihat anaknya pulas tertidur dimalam hari karena merasa yakin telah terjaga. Menunggu subuh sangatlah cepat dimusim panas, 03.50 adzan pagi ini sedap terdengar, tidak lama setelah penantian dibalutkan ayat mengisi bersandingkan hangat yang terbawa dari altar kuasa tidak terbatas, Aku merasa tercerahkan untuk kemabali berani lebih terbuka. "Letih sering kali menjadi pijakan setiap jiwa dalam cerita, tanpa teremuk oleh pinta sebelum mengucapkan setitik kata, kebahagiaan menjauh pergi serasa malas terganggu. Subuhlah yang mampu menyapu semua itu, bertindak sebagai ombak dilaut pasang membuang sampah-sampah terapung lemas. Cerita hati akan menahan semua ketidak berdayaan diri menterjemahkan semu, terjemahkanlah semua apa yang berwujud agar bisa mengambil makna dari hidup." membuka kembali catatan Alm. Ayah untukku, mempergegas masuk tanpa permisi dan malaspun tersapu bersih tanpa tersisa. Berjalan melihat tangan antara malam dengan pagi saling berjabatan. Aku kirimkan sebuah pesan singkat "Selamat pagi Intania, semoga sukses ujianmu hari ini. Allah musta'an Insya Allah." kututup untuk menikmati subuh berlanjut mencermati terbitnya fajar.
Bersambung... Insya Allah.

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part V


        Kehadirannya merupakan retorika hidup yang diajarkan secara benar-benar murni dibuat-Nya nyata di depanku, tidaklah membutuhkan imajinasi dari keinginan palsu ataupun samar dari pikiran tinggi manusia dalam menggambarkan sesuatu hal untuk mengindahkan hari yang sudah terlanjur indah, Intania dijadikan-Nya nyata didalam hadir, setelah Aku berusaha dan rela bersusah payah di-iringi harapan kekuatan keajaiban-Nya agar terjabah. Aku bukan manusia pecinta bunga tidur dimalam hari yang tersadarkan hanya dengan digugahkan tangan mendarat dibahu yang tergoyang, terjebak nikmat disaat mata terpejam karena lelah dilapuk termakan sang malam, ataupun terbangun dipagi hari dengan sadar tipuan gambaran kosong, serta senyuman sisa dari kekecewaan sambil menggerutu "ternyata hanya mimpi" setelah terbangun.

Intania adalah kasat menghijab diri dari setiap perkataan menyakitkan, dewi penjaga sepertiga malam, pemersatu didalam lima waktu, pemasrah urusan hidup untuk bersujud diwaktu duha, pencinta sunah nabawiyah dari terbangkitnya fajar kembali ke fajar. Pribadi yang tumbuh terlalu indah menurutku demi kerendahan hati dengan tampilan biasa, yang mengatakan dirinya biasa-biasa saja tetapi percayalah dan yakinlah kalian akan terkurung didalamnya menjadikan diri berkaca-kaca didepan cermin dan rasa malu tidak akan menjadi mahal, mampu tanpa segan menampar wajah kalian sampai berbekas, dimana hati itu terjembam dalam  kotor seperti Aku. Rasa penasaran yang lambat-lambat menepi di pelabuhan halus dengan wewangian tanah terasa mengingatkan serta menyadarkan setiap serat-serat hati memati, kembali menemukan hari yang hilang untuk keabadian yang mutlak akan datang.

"salam... Dit, lagi dimana?" intania dari ujung telepon berbicara.

"wa'alaikumsalam, ana lagi dirumah. ada apa ya?" balasku sembari menulis beberapa kalimat yang aku temukan diwaktu pagi.

"Mohon doanya ya? Insya Allah sabtu ujian. Syukran wassalam... " sambungnya singkat.

"Insya Allah, Aku doakan, Kataballahu lak binnajah, afwan wa'alaikum salam." aku tutup obrolan singkat itu.

Intania merupakan sebuah catatan hidup yang sudah masuk kedalam kesatuanku dimana lantai-lantai dingin akan menghangat jika dia ikut menginjakan kaki diatasnya. Aku pernah berbicara lugas kepada Intania beberapa minggu yang lalu. "Aku melakukan semua hal ini tidaklah untuk membeli suatu perkara hati, Aku melakukan semua ini karena Aku butuh, dan jika Aku lantang telah membuatmu berdosa maka tidak apa jika persahabatan ini berakhir". kalimat itulah yang aku berikan kepadanya, entah dasar apa dan dari mana kalimat-kalimat itu terlontar keluar dengan mudahnya, ataukah sebuah rotasi mimpi terbawa tanpa ada bias-bias kehidupanku? entahlah, semua tidaklah akan berjalan  sama dan mungkin juga Aku akan kehilangan Intania disaat Aku butuh. Sudahlah... hanya bisa berdoa.

Melanjutkan jalan-jalan selepas belajar, setelah seharian mengurung diri dalam rumah dengan harap rasa kebosanan itu mengembun untuk sementara, walaupun hanya sekedar meminum Juz buah di cafe dipinggir jalan besar bersama teman sembari bercerita seputar persiapan menghadapi ujian akhir tahun untuk memantapkan lagi niat-niat yang telah terbentuk dari awal, disamping meja lingkar disandingkan juz coctail dimana manis itu sengaja diungkap tersiapkan untuk orang-orang agar suasana menjadi segar. Kehidupan disini merupakan halnya cobaan didalam ujian dimana keseharian terbentuk dari suasana karakter yang berbeda, kesinambungan hidup keras didasari kelunakan hati adalah hal unik tanpa tersimpan disini. Mengkondisikan diri dengan apa yang ada agar tidak terjembam dalam lubang daratan tandus atau tertelan mentah oleh pasir hidup karena tidak memperhatikan peringatan tertulis dan tersuarakan.
.

Bagiku ini semua merupakan penantian sementara, tak ayal manusia adalah pengikut waktu dimana detik itu mendekat dengan nafas, tanpa membuang suatu hal yang lebih dekat atas nadi didalam konsep keimanan. Hari ini adalah hari ini, mengikuti sore hendak bergandengan tangan dengan malam. Tuntutan waktu yang memanglah harus diteruskan, tanpa menimbang-nimbang detik sekarang untuk berubah. karena ada suatu tatanan termaktub dalam kuasa Tuhan, yang menyambutnya dengan doa disetiap titik-titik moment penting untuk mengingatkan sikap tekun membalik segarkan niat dalam maghrib yang menyambungkan malam,  seperti halnya subuh yang menjadi salamnya malam untuk membangunkan siang dan siang untuk menidurkan malam, sebuah contoh kesetiaan paten yang konsisten tergambarkan dari Sang Maha Agung untukku.

Setengah jam berlalu, maghrib menuntun membawaku dan teman-temanku beralih pandang menuju gerbang kemenangan tidaklah jauh dari cafe, hanya 50 meter kurang lebihnya. berjalan memenuhi jalan berbaris sejajar, seolah jalan hanya milik kita berlima, sampai diatas shaf salatpun tidak terlepas membaris sejajar. Kesatuan inilah membuat hati merasa dekat sedekat kerabat, menuntun baik serta saling mengisi dimana kekosongan dijadikan Raja. "Temanku adalah alarm hidupku", mungkin itulah kalimat tepat disini dan untuk saat ini. Disaat hari-hari menjauhkan lahir sementara antara Aku dengan kenangan keluarga diatas rakitan-rakitan kerinduan yang terus saja bertambah dalam rangkaian bersambung. Alhamdulillah masih ada kepedulian disekitar membukakan serta mengasah hati tumpul menjadikan tajam. Maghrib hari itu sudahlah berlalu terbawa waktu mengantar pulang kerumah melanjutkan aktivitas seperti biasa, belajar, bercerita, berkarya dan mengejar penantian yang terkumpul,  sedikit demi sedikit terkurang diri berjalan ditemani jarum jam terputar lingkar ke arah kanan. Melanjutkan dengan media pesan Aku kirimkan untuk Intania berisikan do'a dengan harapan kesemangatan agar tidak memudar.
Seutas meditasi keindahan hari ini berhasil mencampurkan kagum beserta syukur  menghasilkan hati untuk bersiap diri diwaktu rasa kehilangan berhasil menjemputku disaat nanti, disaat mulut terdiam enggan lagi bersuara walau untuk kalimat sapa, mungkin juga akad akan mengikatnya suatu saat nanti memaksa sahabat untuk pergi. Sudahlah itu semua hanyalah ketakutanku juga kegembiraanku dalam cerita. Aku terlalu jauh untuk membaca, saat ini yang harus Aku lakukan adalah memperbaiki diri menjadi pribadi yang baik juga berusaha menemukan kenyamanan berjalan diatas jalan sang Rabb pemerhati segala hati.
Insya Allah bersambung....
»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part IV
Sejenak setelah Aku antarkan misteri sebuah kotak makan, Aku memungkinkan diriku menjadi mungkin untuk membeli beberapa makanan kecil, perabotan mandi dan sekedar membeli susu, walau harus menyebrangi jalan besar. Aku memilih menyebrangi jalan karena didepan sana ada sebuah mini market yang terbilang cukup sedikit murah walau hanya selisih beberapa sen pound saja, dan bagiku itu penting. Sepanjang perjalanan terdengar sebuah nyanyian cinta dari sebuah mobil sedan putih dengan kaca pintu terbuka penuh, sebuah lagu cinta nyaring bersih dengan suara penyanyi laki-laki terdengar gurih. Diwaktu itu Aku memilih bersekenario dalam ceritaku sendiri sembari berjalan dibawah cuaca sedikit tertebak olehku. Cerita cinta merupakan tarian-tarian moyang abadi, membaranya seperti api hadir ditengah daratan es lepas meruah-ruah, menghangat mengumpulkan orang-orang terjebak dingin. 
Ikhtisar pati hidup membakar-bakar membuka sang kebengisan menghilang karena lemah didepan sebuah cinta. Aku disini tidaklah ingin seperti manusia-manusia yang terjebak mati ditengah himpitan pasti, mengagungkan cinta diatas segalanya. Aku memilih hari ini karena ini adalah hidupku dengan Tuhanku. Disisi lain terdengar segerombol dialog manusia diatas dasar tumpuan kuat kedalam sebagai congkok berdiri tanpa terlelah, itu kata orang-orang berlalu lalang didepan monitor hidupku terlihat memistiskan karunia. Mata hanya bisa berkaca-kaca setelah lama memendung seperti awan menunggu angin berjalan sembari meliput manusia berlari-lari mencari teduh tidak tertetes basah. terlihat gambaran pantul diwajah awan ketika awan terdorong berarak membawa air semakin menutup. Tetapi Aku bukanlah pribadi terhenti berdiri berusaha menghitung sampai kapan hujan mereda, menghitung setiap butir air didepan mata yang sesekali melihat keatas mencari awan putih diantara hitam berkemul tebal, karena tidak adanya keyakinan diujung jauh sebelah timur terlihat dimana awan itu memutih dan hanya terdiam tanpa melupakan rahasia hujan dibalik kesempurnaan. dengan harap semoga diriku tidak terjebak didalam cinta yang salah arti, sudahlah itu hanya imajinasi semena-mena dalam diriku.
Aku bergegas memenuhi hajatku dipagi itu, mengawasi jalan saling tarik menarik antara kaki dengan suasana mobil beruntun cepat sesaat dikala menyebrang. disni tidaklah nyaman dalam hal menyebrangi sebuah jalanan, dan ini sudah menjadi salah satu kebencian disni karena sudah 2 kali terhitung nyaris tertabrak. (Alhamdulillah masih hidup Ya Allah). Sebuah sketsa hidup pastilah ada histeria yang menjadikan itu sebagai pelengkap anugrah, tidaklah indah hidup tanpa ketakutan. setengah jam sudah berlalu Akupun sudah memasuki rumah, disambut dengan rangkaian ucapan atas mata manusia karena tidak akan berhenti meliput suatu peristiwa, "dit, kemaren belajar sama siapa ya?" sapa temanku nada ngeledekpun terlukis dengan ekspresi wajah tersenyum mencari dukungan masa untuk menghunus sebuah peristiwa, atau dikorek sampai akarnya, mungkin saja ini mereka anggap suatu sejarah. Bergegas menyuapnya dengan plastik yang aku bawa ke sandingkan diatas meja lengkap bersama sabun. Apalah daya sebuah tindakan ternyata tidak secepat kecepatan suara. menggugah orang-orang didalam kamar menuju aula tengah sembari mencibir, dan akhirnya berujung pasrah walaupun sudah kututupi dengan alibi sempurna menurutku. itulah manusia yang pasti akan selalu layak untuk menjadi pencari berita tanpa harus sekolah tinggi untk suatu media nyata. "ya kemarin memang saya dan intania belajar bersama, dan saya memang bersalah, mohon maafnya?" nadaku ku rendahkan sebagai keputusan orang banyak untuk mengambil simpatisan memaafkan. Suasana pagi terasa erat dengan hangat, tawapun tidak lupa untuk hadir disela-sela intonasi suara yang terbuat.
Suara tiba-tiba mengisi ruangan aula dari pojok sofa seseorang sembari membuka coklat untuk dioleskan diatas roti tawar tergeletak pasrah diatas meja "sudahlah, memang sudah waktunya untuk beliau satu ini untuk mencari pasangan yang dia idamkan, kasihan sudah tua lho?" ditutup dengan tawa yang bersaut-sautan. Aku sendiri bingung dengan kalimat tergaris bawah "sudah tua" beranjak aku ikuti mereka karena berhasil memojokkan orang yang sudah terpojok, "masa saya dibilang tua? umur 25 masilah muda tuan?" ungkapku dengan nada tertawa dalam ujung kalimat "25". "25 tahun itu sama saja dengan seperempat abad Egkong?" kata yang keluar kental logat jakarta hadir lengkap untuk mematahkan opsi yang telah aku buat, seperti sebuah jari memainkan pinggul, tertawa geli tumpah ruah disana-sini,  memanglah susah untuk membela diri didepan orang banyak, langkah yang tepat adalah menyebrang jalan dengan hati-hati agar selamat. Belumlah pas untuk menguraikan ini agar terurai jelas tanpa prasangka.
Bersambung... Insya Allah.


»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part III
Pagi telah kembali hadir, masihlah berparaskan dingin membuat malas menyentuh air, memanjakan tubuh yang telah terjebak dalam selimut, Dua jam sebelum subuh memberikan salam. Alarm bernyanyi sudahlah tepat dengan janji yang aku atur jam 03.oo CLT. Tanpa pemanas air yang bekerja karena aliran air dimatikan dari jam 01.oo pagi sampai jam 06.oo. Aku bergegas menyucikan diri dari hadast kecil untuk sesegera bercerita dengan Tuhanku dalam pagi. Mengupas hidup dalam dosa dengan cara terbaik menurutku, ini belumlah berjalan lama dalam rutinitas terbaru yang ku temui didalam diri pribadi, sedikit siasat dengan memenuhi jadwal yang telah Aku buat yang tertempel dalam khizanah kayu berwarna putih gading, dengan menorehkan paraf setelah satu demi satu teratur berjalan sebagai bukti tergabung untuk diri sendiri tentunya. Pemaksaan pada diri sendiri dan itu adalah salah satu usahaku agar hidupku menjadi cerah.
Shalat malam terlaksana sudah, menciptakan rindu seorang Ibu menunggu anaknya dari jauh, serta tetesan mata untuk seorang Ayah diatas sana, Ku tutup dengan titipan Al Fatihah untuk ke-duanya. Aku berlanjut membuka notebook untuk sekedar membuka inbox dan menulis status didalam facebook. "Memang benar kenyataan melahirkan kesadaran menepis ragu, saat ini saja sudah disambut pagi, senang rasanya halaman hati selalu di-isi do'a seorang Ibu yang jauh disana, menghangatkan air dalam basuhan wajah saat bersuci, sudahlah.... sisa sisa lamunan pergilah? Aku sudah terbangun disini. Bi Ismi Rabbi mengawali. Selamat pagi Kairo, selamat pagi menjelang siang Indonesia." itulah status yang Ku buat dan ku lanjutkan memberikan kabar ke Adik-adik dirumah sekedar menanyakan kabar dan menyampaikan kabarku beserta do'a.
Aku teringat 5 hari yang lalu lewat pesan singkat ku kirimkan sebuah pertanyaan "salam, maaf... intan seandainya tidak keberatan silahkan untuk dijawab, dengan cara apa disaat keadaanmu di tengah keraguan, muncul diantara hari. syukran". tidak lama kemudian "wa'alaikumsalam, membiasakan diri dengan membaca surat Al Fath dan Al Mulk ya afwan. :)". balasnya singkat. Kebiasaan intan tertulis singkat gambaran pribadi shalehah tanpa tercoret tergambar, menundukkan celah-celah keburukkan untuk memasuk, tertutup serta terjaga dari lembaran ayat yang dia bacakan untuk dirinya.
Pagi ini dengan surat Al Mulk dan Al fath ditambah ma'surat milik imam Hasan Al banna dengan harap keraguan itu segera menghilang terusir pergi jauh jauh, tanpa ada kata sayonara seperti orang jepang katakan  atau juga sang pramukawan disaat mereka bernyanyi bertemankan malam memutari api unggun dengan barisan melingkar. Setelah subuh menyambut adzan nyaring basah terdengar karena rumahku berjejer tepat dengan masjid, Aku keluar bersama teman rumah meramaikan shafnya. Selepas pulang Aku kembali menuju catatan pagi karena menuliskan suasana adalah salah satu hal melatih hati menjadi peka, ya itulah salah satu keyakinan di-ademnya hidup. "Pastilah ada dalam hidup, dimana pusaran yang menenggelamkan, pusaran yang mampu memisahkan jari jemari dengan satuan tangan, pusaran yang memisahkan setiap fikir dengan hati dan pusaran yang memisahkan nyawa didalam raga. Ada salah satu hal tersadar dibawah alam sadar datang layaknya sebuah ilham, dimana hadirnya tidak hanya menyeka saja tetapi datang menyiram memandikan tubuh kembali menemukan kesegaran, dipersembahkan ketidak fakiran fikir menyesatkan setiap gerak, mencari jalan menuju kesempurnaan manusia yang bernafas atas nama Tuhan, Lailaha Illallah". Selesailah sudah tulisan pagi itu dihari jum'at berselimut sedikit asap kepulan toko roti tepat dibawah rumahku  tercium wangi tercampur manis memaksa masuk merangsang indra cium. sambil menunggu sarapan pagi disiapkan sang pejuang piket masak hari jum'at Aku memilih menyelesaikan lebaran buku mata kuliah untuk hari ahad, bersandingkan kamus Al Masry untuk membantuku melewati kosakata hadir terbaca tanpa makna, satu jam lebih telah berlalu hand phone Aku periksa ada satu panggilan tidak terjawab, intania putri muncul tertulis, Aku memberanikan diri untuk terhubung kembali dengannya. lepas cerita singkat ternyata Aku membawa kotak makan dimana tersuguhkan untukku hari kemarin, sesegera mungkin ku periksa didapur sudah bersih tercuci di rak dapur, tentunya dengan satu permintaan tidak ada yang mengetahui selain kami berempat tentang misteri sebuah kotak makan, ya seperti penyelamatan kotak hitam pesawat setelah terjatuh, akhirnya memunculkan ide dengan membelikan buah anggur untuknya kumasukkan kotak makan didalam tas plastik hitam, dan Aku kembalikan kerumahnya tanpa ada hambatan. hanya sedikit menunggu Intania untuk menyelesaikan shalat duha dipagi itu, tepatnya jam 08.oo CLT. 
Demi mata yang melihat tanpa ada penyembunyian kemunafikan terunduh, diri terasalah malu dengan hal itu semua, kecantikan dan kepribadian indah menyatu menjadi satu, pencapaian bidadari diatas sana nanti yang mana bisa membuat iri setiap bidadari asli langit tanpa pernah menyentuh bumi, atas gambar terekam. Sebuah sejarah kehidupan menjadi salah satu penghuni dan penghias langit, Amin. Dalam perjalanan pulang sebelum jarak mendekati rumah tinggalku Aku tersadar mengenalnya adalah baik, menjadi sahabatnya adalah hikmah, menjadi bagian hidupnya adalah anugrah.
bersambung.....

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part II
Entah dengan cara apa untuk bisa mengambil langit, itulah yang Aku pikirkan di belakang wanita itu, hati seringlah tertakjub atas gambar yang tertangkap oleh pandang, Aku sadar ini bukanlah bayangan semata karena itu semua nyata, ada sebuah rasa dimana Aku harus bertindak dewasa, menyikapi dengan caraku sendiri memandangnya disaat Dia melambai, sesuatu hal yang bisa dilihat tapi masihlah tidak terdengar. Apakah Aku tertulikan nuansa sehingga menutup indra dengar? entahlah. Tersadar dalam dalam ternyata seumur hidup bertasbih tidaklah cukup dan sedikit nafas yang mengerti saat menghirup udaraNya tanpa batas, hal kecil yang teringat didalam gubahan Euphoria yang ada. Itulah yang Aku tangkap semenjak mengenal dia lebih dekat setelah disadarkan oleh dzikir, tasbih tercontohkan dalam dirinya. Subhanallah wa bihamdih Subhanallah Al-'Adzim.
Ya Rabb, pribadinya merubah udara menjadi kaca, yakin membuat bisu, mendekat maka hatiku terpenggal.ampunilah hambaMu ini Ya Rabb, pertemuan ini adalah mutlak kesalahan dimana Aku telah membawanya menjadi dosa. Dari itulah Aku mulai menjadi takut, memanggilnya pun terasa segan mendiamkan metafora sejenak tanpa ada suatu perumpamaan karena itu sudah amat sangat jelas dimana hati berubah menjadi peka, tangan masihlah memegang buku yang harus Aku selesaikan, memilah-milah lembar demi lembar tapi tanpa ada fokus jelas, bacaan melayang membaca satu lembar seperti tanpa berujung, "matahari melamun terhalangi bulan" ya mungkin bisa tergambar seperti itu dimana Aku saat itu. Tanpa ada penyesalan yang begitu mutlak dikala lamunan tidaklah terbendung, terlalu nyata sehingga tidak ada rasa membua, Aku akui hari itu sangatlah murni, tanpa ada ratapan kebencian dimana sehari-hari tanpa absent hadir mengisi, kebencian bercampur dalam setiap warna mengoyak tubuh dari dalam, yang jelas Aku sangatlah terpojok. Pada saat dimana lamunan memeluk setiap hati bertanya-tanya handphone dalam saku menyanyikan lantunan biola "sad violin" ternyata nama terlampir Intania Putri bergegas Aku angkat "Assalamu'alaikum Saya sudah selesai, kenapa ya tadi memanggil?" serangkai kalimat Dia ucapkan, "wa'alaikum salam, iya ini bekal makanan sudah siap, Aku bawa dari rumah, sudah tertata rapi dan sudah terpisah." jawabku dengan tanpa koma, "iya syukran ana mau panggil teman dulu ya?" sahutnya sebelum tertutup sembari kulihat dari 30-an meter dia beranjak berdiri aku jawab "iya, Afwan" selesailah obrolan. Beranjak mendekat dengan hidangan seadanya yang ku beli dari sebuah resto Indonesia dekat rumahku, "ayo Kita makan, silahkan mohon maaf bekalnya seadanya" sapaku dengan harap suasana terjaga dalam cair, "terimakasih, ini kebetulan kita juga membawa bekal tapi tidak banyak, untuk kalian?" sembari plastik kecil putih Intania sandingkan 2 langkah dihadapanku ditambahkan 2 pasang hadiah senyuman. "Sambal kentang sama telur" kata yang tersambung disaat tangan mengambil tanpa malu, "wah terimakasih, hmm masakan Intan ya" pertanyaanku yang tersambung terjawab dengan sambutan kepala terangguk dihias senyum. Aku lebih menikmati hidangan yang intan bawa, masakannya nikmat menurutku walaupun temanku disamping sembari menikmati terucap "masakannya sedikit keasinan ya?" diselingi tawa yang cukup merekatkan suasana sore ditaman itu, sambil bercerita sedikit seputar ujian Akhir tahun. Hidangan yang Aku bawa tidak sepenuhnya habis tapi apalah daya kapasitas perut tidaklah memadai dan kita bungkus kembali beberapa hidangan untuk dibawa pulang. Setelah makan kembalilah tersibukkan dengan buku mata kuliah masing-masing, dengan catatan setelah shalat maghrib kita sama-sama untuk pulang. Dan sampailah Adzan maghrib itu terdengar menutup semua buku mempergegas diri menuju tempat shalat dengan Aku menjadi imam disaat itu, selepas itu kita pulang, rumahku dengan rumahnya sangatlah dekat terukur sekitar 200 meter, dengan dalih itu pulang bersama menaiki bus 636 merah, setelah itu selesailah nuansa hangat hari itu.
Aku yakin saat itu bukanlah rasa jatuh cinta, menjadi sahabat baginya adalah suatu hal luar biasa, kepribadian sosok begitu indah tertemukan sudah, menjaganya menjadikan diri sebagai udara untuk mempermudah dalam bernafas, menjadi air agar menyegarkan setiap nadi, menjadi api untuk sekedar menggantikan matahari saat terhalang kabut agar tidak menjadi dingin atau menjadi tanah agar tidaklah goyah dalam menapak setiap langkah, itu hal yang sangat ingin Aku jaga itu saja, tidaklah lebih. Tanpa terasa malam sudah menjadi jadi, membubuh bersama keindahan tanpa cacat. Aku memaksakan diri untuk melihat luar melalui jendela kamar yang langsung menghadap kejalan. Tersadar waktu belajarku habis hanya untuk lamunan dosa menari-nari, dimana saat malam itu Aku ingin melihat pribadinya dari atas menara saja, tanpa ada angin gurun menyapu bersatu bersama dingin, yang mempermainkan tirai mengisi setiap ruangan rumah dimana telah tertumpah oleh dingin. Sudahlah itu hanyalah permainan kata yang Aku buat-buat, agar terkesan seolah-olah ataupun seakan-akan, sadar diri memaklumi itulah hasrat sebuah lamunan.
"Begitu banyaklah untuk Aku tuliskan, tapi diri ini telah berbenah untuk berbalik segera pergi agar tidak selalu mendengar kalimat membual dari orang-orang datang bertemu dan bersapa, Aku sendiri membenci orang-orang berkata baik tentangku dimana sanjungan itu tepat terangkai apik didepan wajah, tanpa dia tau bahwasannya Aku pernah membawa seseorang sahabatku menjadi dosa, mengajaknya menuju tempat dimana dalih belajar menjadi perisai, Aku ingin menegaskan kepada semua bahwasannya tidak ada manusia yang bisa mengusap wajah matahari." ya itulah kata yang Aku tulis dalam notebook malam itu sebelum melanjutkan belajar, membuat pikiran menjadi lebih santai, setidaknya sebuah catatan dosa terunduh dalam sadar walau hanyalah versiku saja, tapi tidak mengapa lah Aku rasa lebih baik dari pada tidak sama sekali.
bersambung....


»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Kursi di taman douleah, berwarna putih coklat kesemuan, diapit 2 pohon dengan daun dan ranting saling bergandengan disampingnya. Selayaknya sebuah taman besar tentu saja dihiasi banyaknya pasangan halnya Romeo dan Juliet, anak-anak kecil berlari-lari bermain dan keluarga kecil sekedar mencari hijau ditengah gurun dengan bekal makanan diatas tikar. Itu semua tidak begitu menarik menurutku, justru Aku tertarik setelah melihat wanita dengan buku mata kuliahnya tepat duduk diatas kursi putih coklat kesemuan itu, menghadap ke jalan besar.
Aku lihat dari belakang, sebelumnya memang kita sudah mengadakan janjian untuk belajar disana. Aku menarik nafas dalam sebelum mendekat, berlahan mengendap seperti tentara gurun menyelinap masuk camp kawanan musuh. Setelah mendekat tepat dibelakangnya Aku berhasil mencuri kekhusu'an bacaan buku yang Ia pegang, Ia terkejut dengan ucapan "salam" yang mendadak terdengar, Aku tertawa geli tapi tertahan, hanya sebuah tarikan bibir sebuah kesimpulan senyum Aku kembangkan, "Ataghfirullah Adiiiiiiiiiiiiit... awas ya? kaget tau?" ucap dia ditutup dengan tawa. Hari itu hari kamis diwaktu dzuhur setelah mengundang, Aku datang disana mambawa buku yang ingin Aku selesaikan dihari itu, maklumlah dalam suasana ujian akhir tahun disebuah Universitas ternama dibumi ini, tentunya tidak lupa untuk bekal untuk menemani belajar kita siang itu. Puasa senin dan kamis memang sengaja Kami liburkan sementara untuk menghadapi ujian, Aku berikan sebotol susu kurma yang Aku beli di Mall Wonderland, tepat di samping taman Douleah, "nih ada susu kurma, lumayan untuk mengobati haus, met belajar ya?" sambil ku letakkan tepat disampingnya. "iya.. makasih ya?" balas dia dengan senyum. Bergegas Aku menjauh mencari tempat yang Aku anggap ternyaman untuk membaca, setelah berhasil membuat gangguan ditengah belajar. 
Belajar di alam terbuka sangatlah nyaman menurutku apalagi ditengah pepohonan dan rerumputan hijau, dikala bosan itu datang sesekilas melihat anak kecil bermain dengan Ayahnya, lenyaplah kebosanan dan lahirlah kesemangatan. Aku datang kesana tidaklah sendiri tepatnya bersama teman satu rumah, Ia juga tidak sendiri waktu itu, Dia bersama temannya tapi tidak satu rumah dengannya. Kami sibuk dengan buku masing-masing, lagipula bahasa asing tidaklah semudah dalam memahami dan manghafalkan apa yang kita baca. Sesaat adzan Asharpun terdengar beranjak mengambil wudhu dan shalat di tempat terbuka, indah ya itulah yang bisa aku nilai diwaktu itu dimana angin menambah khusyu' disetiap bait yang terbaca. setelah sholat Ashar Aku baranjak menengoknya apakah masih khusyu' dengan belajarnya, oh ternyata sudah berpindah dari tempat yang semula, berpindah tempat dengan duduk diatas rerumputan. Dari belakang Aku panggil Dia ternyata hanya melambaikan tangan, akhirnya memberanikan diri mendekat kedua kalinya, Subhanallah ternyata Aku telah mengganggunya yang sedang membaca ma'surat. Aku mundur dan malu saat itu.
Bersambung....
»»  READMORE...

Bi Ismi Rabbi Astaghfir.

Kumpulan dosa sudah terbungkus,
cacatan cacat mulai rapih berjajar,
saat dunia merapuh,
 jiwa kotor tidaklah lagi bersemayam,
sudahlah terbangun bersama air,
telisik malam mengubah siang,
dimana ketakutan telah menjadi-jadi.

Tubuh serasa mengering meminum api,
gubahan garis keras mulai menyala,
tamak hati menuduh nafas-nafas setiap hidup,
beralih arah bertumpuk tombak,
tidak tertumpul.

Diwaktu tangis tanpa tertepis,
bagian jari telunjuk mati rasa lelah menghapus,
atas nama dinginnya air mata,
membunuh hati menghapus peka,
tidaklah arti terjinjing makna,
apabila mulut berkata setan.

memanglah ada manusia buta akan warna,
tidak ada hakikat buta rasa,
apakah masihlah layak,
saat berkata tanpa menerka,
"masih ada cinta"
dimanakah janji-janji itu terikat?
didalam hati sudah menggelap.

Bi Ismi Rabbi Astaghfir.            Bi Ismi Rabbi Astaghfir.
Bi Ismi Rabbi Astaghfir.

Astaghfirullaha al'adzim.
»»  READMORE...

Hidup tanpa antri.

       Dingin masihlah bermain bersatu dengan udara dibulan november ini. Memelaskan tubuh apabila diguyur dengan air yang telah berubah menjadi dingin, disandingkan keluhan kata "wah dinginnya!!!" suatu hal tidaklah begitu penting untuk diutarakan, karena semuanya pasti merasakan dinginnya cuaca gurun daratan Afrika ini, ya itu sedikit gambaran tentang cuaca di Kairo saat ini.
Sementara diluar sana lapangan tahrir tepatnya masihlah dengan rentetan acara pembakaran mobil-mobil sebagai api unggun, pemanas tubuh para demonstran di jalan-jalan. Sementara Aku masih dipusingkan dengan daftar ulang pembayaran kuliah yang masih ricuh, susah yang harus dinikmati dan dijalani di ruang kebudayaan tidak mengenal antri, hanya ingin menang sendiri, ya begitulah berdorongan seperti manusia tidak mengenal Tuan.
Tapi sudahlah.... mau tidak mau ya harus Aku ikuti keinginan mereka dalam bermain, walaupun sudah 3 hari ini belum berhasil untuk menaklukan budaya tanpa antri ini, esok haruslah kembali ke kampus lebih pagi berharap setidaknya bisa memeluk pintu administrasi, bisa dikatakan butuh rutinitas kesabaran luar biasa dari kebiasaan orang jawa ini, yang disuguhkan tata krama dalam bersosial dari sejak kecil. Memang lain suku lain budaya apalagi negara?.
Kekerasan pribadi watak fir'aun masihlah tersisa walau sedikit-sedikit di tanah ini, keras dan meluapkan amarah mereka dikala berselisih, tapi anehnya dikala emosi itu datang memucuk tinggallah kita ucap mantra "sollu 'alannabi" berubahlah wajah-wajah memerah menjadi dingin, tanpa panjang kata meninggalkan medan pertempuran kata seiring shalawat, disanalah yang sulit sekali bagi orang Indonesia seperti Aku, begitu mudahnya menekan suatu amarah dengan shalawat kepada Muhammad SAW. Subhanallah.
Memang benar kenyataan itu melahirkan kesadaran, menepiskan ragu dan indah disaat Aku sambut, dari sini awal Aku berpetualang dimana Aku terbangun menjadi lebih baik. Inginku yaitu bisa berjelajah dari satu budaya ke budaya yang lainnya, menelusuri waktu dengan peta menunjukan keindahan setiap bangsa, sembari mencari dimana sajakah hidup tanpa antri itu terbudayakan juga dimana sajakah budaya antri terbaik di Dunia dalam pandangan mataku sendiri dengan ditemani Ibu Adik-adikku juga Istri dan Anak-anakku nanti, dimana bukti terjadi nyata bukan hanya cerita.
Bi ismi Rabbi sudah Aku Awali, Ya Allah Engkau Maha Pendengar, Aku titipkan semua mimpiku kepadaMu Ya Allah.

»»  READMORE...

Percayalah


Sebuah
perjuangan
menghilangkan
sakit,
ya
begitulah
perjuangan
untuk
menemukan
yang
sama
.
Semoga
Hari
Esok
Angin
Hangat
Kembali
Disini
Walaupun
Matahari
Bisa
Dibilang
Tidak
Begitu
Cerah
.
Masih
Ada
Api
Pengganti
Sementara
Untuk
Ku
.
*untuk apa yang telah masuk dalam hidup, bawalah untuk kembali*
 .lintang sastra.
»»  READMORE...

Untuknya


Apakah ini kenangannya? 
yang dibangkitkan melalui kedua mata, 
membawa kembali kesisi hidup yang membentur bersama dingin, 
terbelalak takut namun sudah terjadi. Aku belum dapat menemukan jawaban,
belum dapat menemukan mengapa juga belum dapat membuatnya menjadi nyata, hanya ada keyakinan bahwasannya Aku berpihak benar dan Aku tau harus banyak mencoba walaupun setelah nanti kehidupan itu pergi, 
ada kesemangatan meneruskan yang akan membawanya kembali. 
Ya Allah Aku titipkan semua kenangan agar tidak hilang... agar tidak hilang. 
Lillahi tawakaltu.

»»  READMORE...

Karena Aku dan Kamu



Tolong jangan nyalakan lilin sebelum cerita ini berakhir, 
agar tidak selamanya gelap itu bersembunyi.

Tidak ada waktu yang cukup untuk hidup, walau gambar cerita begitu dalam tertampak diatas mata-mata berkaca, beranjak turun dengan kepala tertunduk seperti terpenggal tanpa memperhatikan awan sehabis hujan. Tidaklah salah bertanya tentang senyum yang hilang.

Cerita ini bukanlah seperti garis diatas pasir pantai yang mudah terhapus. karena Aku percaya, dimana semakin dewasa, semakin mengerti walaupun dalam nyata, semakin mendekati mati. 
Susuanan mimpi dinamis tertuntun seperti selembar kain, gagah halnya ksatria penjaga setiap cintanya, ceritanya hanya membuku untukku, dengan tumpukan batu-batu yang terhitung,, berpondasikan tanah yang tidak akan berubah menjadi gelap, tanpa ada keselamatan itu tenggelam. dengan mengharapkan rahmat datang menjangkau jauh melampaui cahaya batas, dari setiap Alfatihah yang Aku titipkan kepadaNya untuknya. Aku tidak peduli apakah dia merasa dari setiap apa yang Aku titipkan kepada Tuhanku untuknya. Entahlah... 7 waktu diatas simpuh selalu Aku sisipkan namanya setelah Aku dan keluargaku.
Wajah hanyalah wajah, pribadi itulah yang akan selalu membuncah, mendekatinya sama halnya menentukan Ibu Kota dalam negara.
Sampailah ditanggal itu....
Atas apa yang dimulai dari tawa ternyata berubah menjadi sakit, tanpa terkurang sedikitpun ketika udara terasa tebal memeluk. Ringkasan hidup yang ada sangatlah sederhana, hanyalah sebuah metafora yang mulai redup dalam ikatan ironi sempurna, seperti peluru yang datang dalam gelap tanpa tau muka sang penembak, yang ada hanya memutarkan tubuh disertai sakit terlanjutkan jatuh.
Keheningan menghitam sorakanpun terdiamkan, "Aku bukanlah manusia tanpa wajah" itulah sisa kalimat terakhir.
(Dia tersenyum sudahlah cukup membuat senang)

Alhamdulillah 'ala jami'il khayah wa ni'mah.
»»  READMORE...

Caraku Melihat

Kembali mengalir mengikuti keabadian,
seolah olah membuka setiap warna tegas perjalanan hidup,
dimana Aku bisa saja terjebak, dimana Aku bisa saja terbebas,
ternyata ada banyak hal yang bisa Kita pandang,
untuk bisa memandang langit.
Semoga cerahnya langit terus tidak berhenti,
agar hati senantiasa bisa memandang setiap terangnya siang,
ataupun setiap terangnya malam apabila sudah menujukkan gelap,
Astaghfirullahal'adzim, aladzi la Illaha illallah, wa atubu iliaih.
»»  READMORE...

Sinai

Merangkak untuk memucuk, 

membujuk mata memandang bintang berombak,

menjatuhkan kilatan garis terang yang terhitung delapan,

terbaring diatas batu dingin menundukkan lelah,

ujung sinai, bertumpuk dua doa yang berbeda,

bersebelah tanpa terganggu, berjajar menantikan surya hendak terbangun,

memotret satu kehidupan lukisan bebatuan yang beselimutkan tasbih,

tak ayal ratusan manusia berhilir naik tanpa mengenal urutan angka usia,

dimana kaki memakan ratusan tangga tertumpuk untuk sebuah cerita,

Subhanallah.

»»  READMORE...

Rindu Tursina

Malam semakin menengah manyajikan dingin, 
terlihat bulan disibakan awan,

Tersuguh malu mengalir setelah berfikir, 
Menetaskan imajinasi tertampak nyata seikat cerita, 
mengingatkan satu gereja di kaki bukit, 
disuguhkan altar megah dalam remang, 
cahaya yang tercuri malam menjadikan gelap, 
seperti membukukan sejarah tersaji hangat, gurih terdengar, 
awal dari sebuah peradaban Koptik memelukku sudah.
 
Kaki bukit sinai Aku teringat, 
Esok Aku pasti kembali mendengarkan ceritamu St. Catherine.
 

»»  READMORE...

Cangkir

Menyuguhkan ironi tertuang dalam gelas-gelas cangkir, 
terbentuklah banyak warna yang berbeda diantara gelas-gelas tersanding, 
sesekali nafas orang-orang bernyawa terhela memandang dengan cara yang berbeda, 
rautan muka terbentuk lengkap terendah sampai tinggi terjunjung teratas, 
Aku sendiri terpaku menikmati manusia diatas tarian, 
merayu-rayu setiap kebisingan agar tertenang, 
menundukkan setiap kesombongan setiap kepala yang tertengadah, 
tanpa mata terlepas, membawa tangan membentuk titik menjadi garis.
»»  READMORE...

Bicara

Bukan lirik - lirik gelap menari - nari diatas tulis, 
kaki menapak jelas tanpa terlepas meninggalkan jejak, 
tangan ini bukanlah tangan - tangan pembunuh, 
tangan - tangan ini juga tidak berhenti untuk menyentuh, 
disini Aku bernafas walau tak banyak tetapi ingatlah, 
Aku bukan sesosok manusia penunggu keajaiban ditengah mata - mata yang tertidur, 
Salah satu yang Ku ambil hari ini,

"Kata-kata tidak akan menjadi dingin ketika ada yang berbicara dan ada yang mendengarkannya"

Dan percayalah kesetiaan Tuhan tidak akan tergantikan kawan? :) 
Lailaha Illallah, Muhammad Rasulullah.
»»  READMORE...