Cari Blog Ini

Kekayaan sebuah kejujuran


Dahulu kala ada kerajaan terbesar di nusantara, di daerah tegal, jawa tengah tepatnya. Rakyatnya makmur, sejahtera. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja besar, dan si raja ini memiliki sebuah keunikkan, dia tidak pernah mengatakan; "Tidak, kamu bohong" ke siapa pun. Sehubungan dengan hal tersebut, akhirnya sang raja mengadakan sayembara besar-besaran, Beliau menghadirkan 5 hakim terbaik di negrinya untuk mengawasi dan menentukan siapa sih pemilik sayembara dari sang raja tegal tersebut. Sayembaranya seperti ini, sang raja berdiri di singgasananya dihari senin selepas duha, dia bertitah; "Barang siapa yang bisa membuatku berkata 'tidak, kamu bohong', maka dia berhak mendapatkan setengah dari seluruh kekayaanku."

»»  READMORE...

Tengah-tengah Dingin



Mungkin, aku sudah terlalu lancang kepada kedunian, dari -wala tufsidu fil ardi ba'da ishlakhiha- pun kemana dan dimana aku menaruhkannya? Tuhan sudah menunjukan keberadaan-Nya dengan kalam-Nya, terasa manis tanpa tanding atau banding, suatu syair peradaban manusia-pun tunduk diam. Sudah sangat mesra bahasa Tuhan bukan? tapi sayang aku atau kamu bernalar salah, bukankah bisa begitu?. 
Apa ini masih zamannya, dimana manusia berkecenderungan untuk kekuasaan tanpa batas? Menghardik, merusak dan merampas?

»»  READMORE...

Rindu Ibu dari tanah jauh

Aku bebas menyebutnya apa saja yang baik,
seperti simphony gurun salah satunya. 

Dia memberikan Aku kelembaban ditengah kering dengan suaranya,
Dia memberikan petuah hangat ditengah dingin suasana,
sungguh saat ini memandangnyapun Aku tidak mampu,
Aku terlalu banyak tercumbu rindu.

Bagaimana Aku tidak rindu, jika jauh dalam perjalan hidup,
disandingkan seberkas cerah yang melembutkan,
tatapan yang membulatkan keyakinan,
Ataupun alunan nada yang menenangkan,

Dan,
kalaupun keras,
selalu berakhirkan kesan yang berlanjut membekaskan senyuman,
sementara waktu ini kami dipisahkan jarak.

Dari sini aku membacamu,
dari sini Aku mendoakanmu,
dari sini pula Aku merindukanmu.

Aku segera pulang untukmu.
2 Tahun itu sudah terlalu lama, 
untuk tidak menatapmu dekat.

Insya Allah,
selalu ada ruang terluas, 
mengabadikan waktu bersamamu,
sebanyak waktuku.

»»  READMORE...

Lembayung Hujan

Ingin bercerita tentang kelembutan hujan,
apa saja.
Cara dia menyentuh,
cara dia bersuara,
cara dia terjatuh,
cara dia menyapa kemarau,
cara dia berhujan. 

»»  READMORE...

Derana Awal Tahun


"Matanya membanyu, sulung tegarnya hancur, suara paraunya belum juga mengendur, untuk sebuah nada saja sukar ditutur kelompang, menyelingkupi raut-raut taat." lelantun klasik menggumam, seklasik musik Vivaldy. saat itu tengah malam, matanya tampak renyah terbuka.

"Bagaimana caramu? kamu mampu mengsucikan sendu menjadi berat, memanen suasana selaras kamu mampu dan agar tidakpun kamu bisa, kamu suara diatas suara la?" Aku mengutarakan tanya, Viola menoleh.

"....." Viola diam, berubah menatapku kaku.
»»  READMORE...

Kertas, Angsa Putih



Zahra, sigadis kecil dari Gaza. Cantik berambutkan gelombang warnanya coklat semu kemerah-merahan, panjang sebahu. Matanyapun coklat tatapan gurun yang memikat, alisnya lentik selayak tepian matahari sewaktu tenggelam, bibirnya yang mungil manis sekali, jika dibalut dengan senyum maka apalah arti bunga mawar, melatipun cemburu dengan kecantikan zahra. Ayahnya bukanlah pemberontak tapi ayahnya adalah pejuang kemanusiaan, pejuang hak dan juga pejuang kewajiban. tepat 10 hari yang lalu dari hari ini, zahra dengan ayahnya masih bisa berlari-lari, saling kejar mengejar, sekedar untuk menangkap zahra dan memanggulnya. Mereka memanfaatkan momen itu sebagai dongeng dongeng hidup, karena Ayahnya paham hanya dongeng-dongenglah kebahagiaan zahra bisa tumbuh, walau semu tetap apik untuk pondasi jiwa sang buah hatinya. Kaki Ayahnya tangguh, lebih tangguh dari umurnya yang baru sekitar 36-an tahun. Lelaki gagah, berbadan bidang tegap, khas sekali tubuh orang Arab, tinggi besar. Dia Ayah yang baik dan juga pejuang tangguh ahli penembak jarak jauh.
»»  READMORE...

Suara untuk Shahnaz

Kalimat-kalimat kata menyelinap keluar pergi dari kedua tanganku, berbaur keringat tulisanku, terbata-bata mulut dengan suara mengambang diatas kabut.

Mungkin saja Aku telah membunuh kata-katamu dengan pisau, memulihkan luka-luka lembut ditetes air mata.


Tapi ingatlah, dengan Aku disini, sekalipun sayap-sayapku terbakar, Aku masih memiliki tangan yang kuat, tubuh yang bidang, kaki yang kokoh unt
uk membopongmu dari hari ke hari dan itu karenamu aku mampu.

Marilah bersamaku merangkul waktu, bersamaku melewati musim panas yang tengah mulai jatuh terbaring lumpuh oleh musim hujan, mulai semakin dekat saat ini, terus dari satu musim ke musim yang lainnya sampai akhir dimana merdu-merdu istirahat kekal itu bertemu.


Jika diatas dunia ini puisi-puisi itu menyanyikan lagu, maka Aku menjadi sejukmu disaat panasmu, menjadi hangatmu disaat dinginmu.


Ini semua bukanlah mantra-mantra perlindunganku, tapi ini adalah kaca dari hatiku, rawatlah dan jagalah karena itu dariku untukmu.
 
Diujung nusantara sana, kekasih janganlah bersedih, Allah bersama orang-orang yang sabar.
 
Cairo, 9 September 2012.
»»  READMORE...

Cara Mudah Menghafal Al-Qur'an

Segala puji Bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Dalam tulisan ini akan kami kemukakan cara termudah untuk menghafalkan al quran. Keistimewaan teori ini adalah kuatnya hafalan yang akan diperoleh seseorang disertai cepatnya waktu yang ditempuh untuk mengkhatamkan al-Quran. Teori ini sangat mudah untuk di praktekan dan insya Allah akan sangat membantu bagi siapa saja yang ingin menghafalnya. Disini akan kami bawakan contoh praktis dalam mempraktekannya:

»»  READMORE...

Kesungguhan Hati

Tita Aku menyebutnya, Gadis aku temui disandaran hari dibulan Agustus satu tahun yang lalu, melihatnya dari jendela hati merupakan anugrah termanis dan terindah. Gadis ditengah manja bersanding didepanku, lahir di bulan juli tahun 1990 dihari selasa tepatnya, yang memiliki sejuta pesona senyuman dengan kelembutan dirinya terjaga penuh. Aku mengajukan diri menjadi sesosok pengawal hati dalam hidupnya.

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Gadis dengan wajah bulat, bulatan dengan dukungan pipinya yang bisa dibilang tembem apalagi dikhaskan dengan alis mata dengan garis mata yang tegas memberikan pengalaman yang cukup menegangkan dari setiap pandangan yang dia jatuhkan. Garisan senyuman dibuatnya begitu mesra menghias setiap dinding pipi elok untuk sekedar diberikan kepada manusia yang memiliki garisan tangan seorang pelukis sampai tanganku begitu hafal untuk sekedar memberikan goresan pensil diatas kanvas. Aku pernah sekali memberanikan diri untuk melukiskan wajahnya, menguatkan lamunan dari setiap kejenuhan pikiran diserta merta tumpukan masalah terus tegas menggilingku, guratan senyum menjernihkan otak untuk segera melayang - layang diudara saat terlukis. matanya juga memiliki khas tersendiri dengan bulatan pupil hitamnya menambah harmonis dari setiap tatapan disempurakan dengan celak telah menegaskan alis matanya. Aroma cat minyak masih menjajahi rongga nafasku saat ini aku tengah mencampurkan warna kulit wajahnya yaitu kuning langsat, warna kulit khas daerah Jawa barat.

"Kamu ada disini Intania, bersama waktuku tanpa engkau tau." Aku berbicara sendiri didepan kanvas, melanjutkan kipasan kuas diatas kain, membersihkan kuasku untuk melanjutkan warna lain untuk lukisanku.

Pernah suatu hari aku dengan terang meminta izin untuk mengambil sedikit gambarnya lewat kamera ponselku tapi cemoohlah yang aku dapati, sungguh satu amarahnya cukup membuat ketakutan, satu malam dihari rabu. 

"Tolong, hapus foto itu, saya tidak suka jika diambil fotoku seperti itu, jika tidak dihapus saya akan benar-benar marah kepadamu!" sentak amarahnya dituliskan kepadaku. 

Atas dalih itu aku tidak pernah memberanikan diri untuk mengambil fotonya untuk kedua kali dan dengan alasan itulah aku mengambil keputusan untuk menggambarkan wajahnya dari setiap bayangan imajinasi terbatas yang aku miliki, menggambarkan Intania diatas kanvas mengumpulkan imajinasi dari dalam diriku walau terbilang sulit. Sampai - sampai mencuri pandang disaat ada kesempatan bertemu dengannya, memperhatikan matanya dari jauh meperhatikan senyumnya jika menyebar melihat guratan garis pipi disaat diam dan disaat berbicara. Menyita waktuku beberapa minggu untuk satu wajahnya didalam gambarku.

"Dengan cara apakah agar aku bisa membayangkanmu tanpa menemukan kesulitan besar untukku, jika dengan goresan tanganku adalah pilihan maka akan aku gambarkan beribu-ribu lukisan wajahmu." gumam hatiku kesal, ditengah malam lepas dari jam 12 malam, gumaman hati yang menyuruhku untuk segera pulang ke alam mimpi diasah tidur. bergegas aku membersihkan kuas mencucinya dengan minyak khusus kuas dari kayu maple dengan bulu khas yang lembut kaku. Aku suka aroma kayu maple, aromanya banyak membantuku menemukan segaris imajinasi. Malam ini cukup pikiran kaku entah  kenapa bayanganku sedikit terganggu dengan kemarahan intania kepadaku.

"sudahlah, mungkin dengan istirahat bisa melemaskan ketakutan dari serbuah amarahnya.'' ucapku lirih ditengah malam yang telah berhasil mendinginkan punggungku. Menutupi tubuh dengan selimut dan aku tertidur.

****

Pagi selepas shalat shubuh hari jum'at, tepatnya hari libur. Pagi disini tidak kalah indahnya dengan Indonesia yang selalu saja berawarna dengan bermandikan kicauan burung sebagai orang jawa kami menyebutnya burung mprit, hidupnya suasana pagi memberikan kesemangatan, cukup untuk menabrak dinding-dinding dinginnya udara. Baunya karismatik sungai Nil tengah bersanding memasuki jendela sedikit terbuka, walaupun menggilkan tubuh tapi aku suka disaat kesegarannya memijit mukaku segar. Aku menuju easel milikku dengan gambaran wajah yang mulai tergambar jelas diatas kanvas, lintasan cukup untuk melepaskan senyum mendadak. Nafas hangat memecah emosional pagi ini serentak membuang pandanganku keluar jendela, menikmati cerahnya pagi dalam bingkisan apik cara alam bersastra untuk manusia. Hati hari ini tidak bisa berdusta kerinduan selalu saja membuncahi setiap aral waktu.

"seandainya bisa aku bawa dirimu disini didepanku, betapa senang hati dan diri ini intania." bisikan awal dari hari merindukan intania. Aku tersadarkan dengan timpalan angin tiba-tiba berhembus menampar wajahku, entah angin apakah itu.

"Tulang rusuk siapakah engkau tercipta Intania, sudah membiaus setiap langkahku saat ini." tambahku dalam lamunan dihias senyum.

Selepas sarapan aku membawa peralatan alat-alat lukisku dimulai dengan melipat easel, kanvas, kuas, cat, pengencer cat, palet lengkap aku tata sudah dan melanjutkan lukisan di pinggiran sungai nil. Bangku bercat biru dilingkari dengan besi cor, bangkunya kokoh, bangku yang dingin karena tepat dibawah pohon rindang tepian nil tempatku berekspresi, membebaskan setiap pelukan penat didasar hati. Suasana nil membiusku sudah meraba setiap bentuk kegiatan yang ada disekitarku, warna kehidupan adalah keramaian dan kesibukan manusia dalam aktivitas. Rasa syukurku kepada Allah dalam keindahan mengisi hidupku, kenikmatan tersedia didepan muka. Aku menggoreskan setiap warna agar cepat selesai sebelum sepenenggal matahari itu hadir.

****
Pagi sudah beranjak menuju ketengah siang, cukup untuk membrikan reflek kelopak mataku tertutup jika tengah menghadapkan kepalaku ke muka langit, hal itu aku lakukan jika leherku terasa tegang. Lukisanku selesai sudah, buah senyum ternyata tidak hanya hadir dari dalam diriku, tapi dari orang-orang sekelilingku. Tanpa tersadar disamping kiriku duduk dua anak kecil kakak beradik.
"Hai paman, namaku Omar dan ini adik kecilku Aisyah." Berhias dengan pesona senyuman Omar dan Aisyah memperkenalkan tanpa ragu juga canggung. cukup mengejutkanku karena sama sekali tidak mengira ada dua anak kecil manis seumuran 6 tahunan untuk Omar dan 3 tahun untuk Aisyah.

"Aku Rahman, dari Indonesia dengan siapa kalian kesini ya Omar dan Aisyah?" balasku tanpa senyuman yang terlupa. Anak-anak pintar dan cerdas Aku senang mereka didekatku saat ini. sembari aku membersihkan tangan dengan kain yang aku siapkan dari rumah dan satu bungkus kecil tisu.

"Apakah kalian suka menggambar dirumah atau disekolah?" Aku sambung perkataanku kepada mereka.

"Omar tidak bisa menggambar tapi suka melihat paman menggambar." tegas Omar singkat.

"kalau kamu ya Aisyah?" Aisyah menyambut dengan dua gelengan kepala kearahku dengan senyuman manis malu. Aku tertawa dan sembari membereskan alat-alatku karena hari sudah mendekati shalat jum'at.

"Kalian mau belajar menggambar seperti paman saat ini lakukan?" sahutku.

"iya Aku ingin bisa seperti paman, agar bisa melukis wajah Ibu dan Ayah." tegas Omar kepadaku.
kembali lagi aku tertawa mendengar ucap si Omar.

"dimana orang tua kalian?" sambungku
.
"disana paman?" Aisyah memberi tauku dengan tangan kanan menunjukan ke arah utara, terlihat Ayah dan Ibunya melambaikan tangan kearah kami dengan senyuman ceria, duduk dibawah pohon dengan menggelar tikar berwarna hijau. Aku balas lambaian mereka berdua dengan berdiri beserta senyuman aku kirimkan.

Peralatanku sudah terkemas dengan baik, dibantu Omar dan Aisyah. Aku mengambil dua buah coklat dari tas ku dan aku berikan kepada mereka sebagai ucapan terimakasih. "ini untukmu Omar yang gagah, dan ini untukmu Aisyah yang cantik". Ucapku.

"Terimakasih paman?" jawab mereka bersamaan. Mereka berlari menuju kedua orang tua mereka dengan riang, Omar mengikuti adiknya berlari dari belakang.

Sebelum Aku beranjak berdiri meninggalkan bangku itu, Aku membersihkan beberapa cat minyak yang terjatuh diatas semen dengan tisu, setelah selesai Omar ternyata sudah didepanku dengan membawakan sebotol softdrink dan kembali lagi menuju orang tuanya, sungguh mereka orang baik yang aku temui disiang itu. Aku berbalik dan mengucapkan salam kepada mereka mereka melambaikan tangan dan aku balas kembali, sepertinya mereka bukan muslim dalam benakku. Tapi aku sangat senang bertemu dengan mereka. Memang berbagi itu indah. saatnya untuk melontarkan kaki menuju masjid.

Insya Allah Bersambung...

»»  READMORE...