Cari Blog Ini

Intania Putri Maharani

Part VI

Dari setiap do'a Aku langit-kan untuknya, tiada lebih hanya untuk meminta ke Tuhan dimana Intania berarti dalam. Berdo'a bagiku bukan merupakan kiasan manusia karena pasrah, tapi ini usahaku dimana kulit tak bisa tersentuh, dimana pandang tidaklah harus mendekat dan inilah yang aku lakukan. Keselamatan serta kebahagiaan untuknya dari awal mengenal intania sampai nisan tertuliskan nama nanti, entah namaku ataupun namanya disana. Sepenuh dari cahaya memberikan harapan sebuah kehidupan yang menjadikan warna terlihat, mungkin seperti itulah do'aku untuk intania. Hari ini tepat jam 03.oo pagi, mata Aku paksa untuk terbuka agar bisa memeluknya dalam do'a, sembari bercerita dengan Tuhan atas perkara akhir setelah wafat yang mana masihlah terkurung, belum ada secuilpun kata sempurna dihadap-Nya, dalam tolak ukur hamba dengan Tuhannya. Dari semua perih untuk semua hati dan seberkas cahaya nikmat hidup, dimana kematian disetiap helaian hari teruslah berkurang menjadi dekat. "Aku mengambilnya hanya untuk amanah didalam sahabat", iya kata hatiku mantap dan Aku antarkan usaha menjadikan puasa dihari ini untuk wasilah doa kemudahan ujian Intania.

Selama ini aku tidaklah pernah memusingkan diri dimana waktu akan menggambarkan perpisahan aku dengan dirinya, karena sejujurnya diri masihlah takut. "Apakah ketakutan itu harus diikat menjadi penghias mata setiap harinya?" kalimat batin membisik jelas seperti angin yang mendinginkan telinga ketika berhembus. "tidak." jawabku didalam nurani terucap berontak dan tanpa paksaan membuka mulut tersalur oleh nurani tanpa kesengajaan, menggeliatkan mata lain melihat dengan sosokku menjadi objek. Memancingkan kalimat sapaan "kenapa?" dua dari temanku memandang heran terkagetkan suara. Aku terdiam hanya bisa membalas senyum menjadi ajang pemeran gigi diantara teman-teman yang masih terjaga dengan buku. Ini semua hanyalah perkara antara ada dan tiada, bahasa baku dengan akrab saling bertautan meracik satu kerena hakikat. "sudahlah menerjemahkan itu semua tidak akan ada habisnya". Ucapku dalam hati mencoba menasehati diriku sendiri agar kembali terfokus serta tidak terlupa akan loyalitas kepada diri sendiri yang menjadi tanggung jawabku saat ini. "Karena Aku sayang akan diriku sendiri", dimana kalimat mantra penggugah hasrat disaat melemah tanpa segan terhadir didalam rutinitasku, ini adalah sebuah celoteh mengisikan pikiran sementaraku saja.

Suasana pagi yang mendamaikan, seperti Ayah yang melihat anaknya pulas tertidur dimalam hari karena merasa yakin telah terjaga. Menunggu subuh sangatlah cepat dimusim panas, 03.50 adzan pagi ini sedap terdengar, tidak lama setelah penantian dibalutkan ayat mengisi bersandingkan hangat yang terbawa dari altar kuasa tidak terbatas, Aku merasa tercerahkan untuk kemabali berani lebih terbuka. "Letih sering kali menjadi pijakan setiap jiwa dalam cerita, tanpa teremuk oleh pinta sebelum mengucapkan setitik kata, kebahagiaan menjauh pergi serasa malas terganggu. Subuhlah yang mampu menyapu semua itu, bertindak sebagai ombak dilaut pasang membuang sampah-sampah terapung lemas. Cerita hati akan menahan semua ketidak berdayaan diri menterjemahkan semu, terjemahkanlah semua apa yang berwujud agar bisa mengambil makna dari hidup." membuka kembali catatan Alm. Ayah untukku, mempergegas masuk tanpa permisi dan malaspun tersapu bersih tanpa tersisa. Berjalan melihat tangan antara malam dengan pagi saling berjabatan. Aku kirimkan sebuah pesan singkat "Selamat pagi Intania, semoga sukses ujianmu hari ini. Allah musta'an Insya Allah." kututup untuk menikmati subuh berlanjut mencermati terbitnya fajar.
Bersambung... Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar