Cari Blog Ini

Kesungguhan Hati

Tita Aku menyebutnya, Gadis aku temui disandaran hari dibulan Agustus satu tahun yang lalu, melihatnya dari jendela hati merupakan anugrah termanis dan terindah. Gadis ditengah manja bersanding didepanku, lahir di bulan juli tahun 1990 dihari selasa tepatnya, yang memiliki sejuta pesona senyuman dengan kelembutan dirinya terjaga penuh. Aku mengajukan diri menjadi sesosok pengawal hati dalam hidupnya.

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Gadis dengan wajah bulat, bulatan dengan dukungan pipinya yang bisa dibilang tembem apalagi dikhaskan dengan alis mata dengan garis mata yang tegas memberikan pengalaman yang cukup menegangkan dari setiap pandangan yang dia jatuhkan. Garisan senyuman dibuatnya begitu mesra menghias setiap dinding pipi elok untuk sekedar diberikan kepada manusia yang memiliki garisan tangan seorang pelukis sampai tanganku begitu hafal untuk sekedar memberikan goresan pensil diatas kanvas. Aku pernah sekali memberanikan diri untuk melukiskan wajahnya, menguatkan lamunan dari setiap kejenuhan pikiran diserta merta tumpukan masalah terus tegas menggilingku, guratan senyum menjernihkan otak untuk segera melayang - layang diudara saat terlukis. matanya juga memiliki khas tersendiri dengan bulatan pupil hitamnya menambah harmonis dari setiap tatapan disempurakan dengan celak telah menegaskan alis matanya. Aroma cat minyak masih menjajahi rongga nafasku saat ini aku tengah mencampurkan warna kulit wajahnya yaitu kuning langsat, warna kulit khas daerah Jawa barat.

"Kamu ada disini Intania, bersama waktuku tanpa engkau tau." Aku berbicara sendiri didepan kanvas, melanjutkan kipasan kuas diatas kain, membersihkan kuasku untuk melanjutkan warna lain untuk lukisanku.

Pernah suatu hari aku dengan terang meminta izin untuk mengambil sedikit gambarnya lewat kamera ponselku tapi cemoohlah yang aku dapati, sungguh satu amarahnya cukup membuat ketakutan, satu malam dihari rabu. 

"Tolong, hapus foto itu, saya tidak suka jika diambil fotoku seperti itu, jika tidak dihapus saya akan benar-benar marah kepadamu!" sentak amarahnya dituliskan kepadaku. 

Atas dalih itu aku tidak pernah memberanikan diri untuk mengambil fotonya untuk kedua kali dan dengan alasan itulah aku mengambil keputusan untuk menggambarkan wajahnya dari setiap bayangan imajinasi terbatas yang aku miliki, menggambarkan Intania diatas kanvas mengumpulkan imajinasi dari dalam diriku walau terbilang sulit. Sampai - sampai mencuri pandang disaat ada kesempatan bertemu dengannya, memperhatikan matanya dari jauh meperhatikan senyumnya jika menyebar melihat guratan garis pipi disaat diam dan disaat berbicara. Menyita waktuku beberapa minggu untuk satu wajahnya didalam gambarku.

"Dengan cara apakah agar aku bisa membayangkanmu tanpa menemukan kesulitan besar untukku, jika dengan goresan tanganku adalah pilihan maka akan aku gambarkan beribu-ribu lukisan wajahmu." gumam hatiku kesal, ditengah malam lepas dari jam 12 malam, gumaman hati yang menyuruhku untuk segera pulang ke alam mimpi diasah tidur. bergegas aku membersihkan kuas mencucinya dengan minyak khusus kuas dari kayu maple dengan bulu khas yang lembut kaku. Aku suka aroma kayu maple, aromanya banyak membantuku menemukan segaris imajinasi. Malam ini cukup pikiran kaku entah  kenapa bayanganku sedikit terganggu dengan kemarahan intania kepadaku.

"sudahlah, mungkin dengan istirahat bisa melemaskan ketakutan dari serbuah amarahnya.'' ucapku lirih ditengah malam yang telah berhasil mendinginkan punggungku. Menutupi tubuh dengan selimut dan aku tertidur.

****

Pagi selepas shalat shubuh hari jum'at, tepatnya hari libur. Pagi disini tidak kalah indahnya dengan Indonesia yang selalu saja berawarna dengan bermandikan kicauan burung sebagai orang jawa kami menyebutnya burung mprit, hidupnya suasana pagi memberikan kesemangatan, cukup untuk menabrak dinding-dinding dinginnya udara. Baunya karismatik sungai Nil tengah bersanding memasuki jendela sedikit terbuka, walaupun menggilkan tubuh tapi aku suka disaat kesegarannya memijit mukaku segar. Aku menuju easel milikku dengan gambaran wajah yang mulai tergambar jelas diatas kanvas, lintasan cukup untuk melepaskan senyum mendadak. Nafas hangat memecah emosional pagi ini serentak membuang pandanganku keluar jendela, menikmati cerahnya pagi dalam bingkisan apik cara alam bersastra untuk manusia. Hati hari ini tidak bisa berdusta kerinduan selalu saja membuncahi setiap aral waktu.

"seandainya bisa aku bawa dirimu disini didepanku, betapa senang hati dan diri ini intania." bisikan awal dari hari merindukan intania. Aku tersadarkan dengan timpalan angin tiba-tiba berhembus menampar wajahku, entah angin apakah itu.

"Tulang rusuk siapakah engkau tercipta Intania, sudah membiaus setiap langkahku saat ini." tambahku dalam lamunan dihias senyum.

Selepas sarapan aku membawa peralatan alat-alat lukisku dimulai dengan melipat easel, kanvas, kuas, cat, pengencer cat, palet lengkap aku tata sudah dan melanjutkan lukisan di pinggiran sungai nil. Bangku bercat biru dilingkari dengan besi cor, bangkunya kokoh, bangku yang dingin karena tepat dibawah pohon rindang tepian nil tempatku berekspresi, membebaskan setiap pelukan penat didasar hati. Suasana nil membiusku sudah meraba setiap bentuk kegiatan yang ada disekitarku, warna kehidupan adalah keramaian dan kesibukan manusia dalam aktivitas. Rasa syukurku kepada Allah dalam keindahan mengisi hidupku, kenikmatan tersedia didepan muka. Aku menggoreskan setiap warna agar cepat selesai sebelum sepenenggal matahari itu hadir.

****
Pagi sudah beranjak menuju ketengah siang, cukup untuk membrikan reflek kelopak mataku tertutup jika tengah menghadapkan kepalaku ke muka langit, hal itu aku lakukan jika leherku terasa tegang. Lukisanku selesai sudah, buah senyum ternyata tidak hanya hadir dari dalam diriku, tapi dari orang-orang sekelilingku. Tanpa tersadar disamping kiriku duduk dua anak kecil kakak beradik.
"Hai paman, namaku Omar dan ini adik kecilku Aisyah." Berhias dengan pesona senyuman Omar dan Aisyah memperkenalkan tanpa ragu juga canggung. cukup mengejutkanku karena sama sekali tidak mengira ada dua anak kecil manis seumuran 6 tahunan untuk Omar dan 3 tahun untuk Aisyah.

"Aku Rahman, dari Indonesia dengan siapa kalian kesini ya Omar dan Aisyah?" balasku tanpa senyuman yang terlupa. Anak-anak pintar dan cerdas Aku senang mereka didekatku saat ini. sembari aku membersihkan tangan dengan kain yang aku siapkan dari rumah dan satu bungkus kecil tisu.

"Apakah kalian suka menggambar dirumah atau disekolah?" Aku sambung perkataanku kepada mereka.

"Omar tidak bisa menggambar tapi suka melihat paman menggambar." tegas Omar singkat.

"kalau kamu ya Aisyah?" Aisyah menyambut dengan dua gelengan kepala kearahku dengan senyuman manis malu. Aku tertawa dan sembari membereskan alat-alatku karena hari sudah mendekati shalat jum'at.

"Kalian mau belajar menggambar seperti paman saat ini lakukan?" sahutku.

"iya Aku ingin bisa seperti paman, agar bisa melukis wajah Ibu dan Ayah." tegas Omar kepadaku.
kembali lagi aku tertawa mendengar ucap si Omar.

"dimana orang tua kalian?" sambungku
.
"disana paman?" Aisyah memberi tauku dengan tangan kanan menunjukan ke arah utara, terlihat Ayah dan Ibunya melambaikan tangan kearah kami dengan senyuman ceria, duduk dibawah pohon dengan menggelar tikar berwarna hijau. Aku balas lambaian mereka berdua dengan berdiri beserta senyuman aku kirimkan.

Peralatanku sudah terkemas dengan baik, dibantu Omar dan Aisyah. Aku mengambil dua buah coklat dari tas ku dan aku berikan kepada mereka sebagai ucapan terimakasih. "ini untukmu Omar yang gagah, dan ini untukmu Aisyah yang cantik". Ucapku.

"Terimakasih paman?" jawab mereka bersamaan. Mereka berlari menuju kedua orang tua mereka dengan riang, Omar mengikuti adiknya berlari dari belakang.

Sebelum Aku beranjak berdiri meninggalkan bangku itu, Aku membersihkan beberapa cat minyak yang terjatuh diatas semen dengan tisu, setelah selesai Omar ternyata sudah didepanku dengan membawakan sebotol softdrink dan kembali lagi menuju orang tuanya, sungguh mereka orang baik yang aku temui disiang itu. Aku berbalik dan mengucapkan salam kepada mereka mereka melambaikan tangan dan aku balas kembali, sepertinya mereka bukan muslim dalam benakku. Tapi aku sangat senang bertemu dengan mereka. Memang berbagi itu indah. saatnya untuk melontarkan kaki menuju masjid.

Insya Allah Bersambung...

»»  READMORE...