Cari Blog Ini

Intania Putri Maharani

Part IV
Sejenak setelah Aku antarkan misteri sebuah kotak makan, Aku memungkinkan diriku menjadi mungkin untuk membeli beberapa makanan kecil, perabotan mandi dan sekedar membeli susu, walau harus menyebrangi jalan besar. Aku memilih menyebrangi jalan karena didepan sana ada sebuah mini market yang terbilang cukup sedikit murah walau hanya selisih beberapa sen pound saja, dan bagiku itu penting. Sepanjang perjalanan terdengar sebuah nyanyian cinta dari sebuah mobil sedan putih dengan kaca pintu terbuka penuh, sebuah lagu cinta nyaring bersih dengan suara penyanyi laki-laki terdengar gurih. Diwaktu itu Aku memilih bersekenario dalam ceritaku sendiri sembari berjalan dibawah cuaca sedikit tertebak olehku. Cerita cinta merupakan tarian-tarian moyang abadi, membaranya seperti api hadir ditengah daratan es lepas meruah-ruah, menghangat mengumpulkan orang-orang terjebak dingin. 
Ikhtisar pati hidup membakar-bakar membuka sang kebengisan menghilang karena lemah didepan sebuah cinta. Aku disini tidaklah ingin seperti manusia-manusia yang terjebak mati ditengah himpitan pasti, mengagungkan cinta diatas segalanya. Aku memilih hari ini karena ini adalah hidupku dengan Tuhanku. Disisi lain terdengar segerombol dialog manusia diatas dasar tumpuan kuat kedalam sebagai congkok berdiri tanpa terlelah, itu kata orang-orang berlalu lalang didepan monitor hidupku terlihat memistiskan karunia. Mata hanya bisa berkaca-kaca setelah lama memendung seperti awan menunggu angin berjalan sembari meliput manusia berlari-lari mencari teduh tidak tertetes basah. terlihat gambaran pantul diwajah awan ketika awan terdorong berarak membawa air semakin menutup. Tetapi Aku bukanlah pribadi terhenti berdiri berusaha menghitung sampai kapan hujan mereda, menghitung setiap butir air didepan mata yang sesekali melihat keatas mencari awan putih diantara hitam berkemul tebal, karena tidak adanya keyakinan diujung jauh sebelah timur terlihat dimana awan itu memutih dan hanya terdiam tanpa melupakan rahasia hujan dibalik kesempurnaan. dengan harap semoga diriku tidak terjebak didalam cinta yang salah arti, sudahlah itu hanya imajinasi semena-mena dalam diriku.
Aku bergegas memenuhi hajatku dipagi itu, mengawasi jalan saling tarik menarik antara kaki dengan suasana mobil beruntun cepat sesaat dikala menyebrang. disni tidaklah nyaman dalam hal menyebrangi sebuah jalanan, dan ini sudah menjadi salah satu kebencian disni karena sudah 2 kali terhitung nyaris tertabrak. (Alhamdulillah masih hidup Ya Allah). Sebuah sketsa hidup pastilah ada histeria yang menjadikan itu sebagai pelengkap anugrah, tidaklah indah hidup tanpa ketakutan. setengah jam sudah berlalu Akupun sudah memasuki rumah, disambut dengan rangkaian ucapan atas mata manusia karena tidak akan berhenti meliput suatu peristiwa, "dit, kemaren belajar sama siapa ya?" sapa temanku nada ngeledekpun terlukis dengan ekspresi wajah tersenyum mencari dukungan masa untuk menghunus sebuah peristiwa, atau dikorek sampai akarnya, mungkin saja ini mereka anggap suatu sejarah. Bergegas menyuapnya dengan plastik yang aku bawa ke sandingkan diatas meja lengkap bersama sabun. Apalah daya sebuah tindakan ternyata tidak secepat kecepatan suara. menggugah orang-orang didalam kamar menuju aula tengah sembari mencibir, dan akhirnya berujung pasrah walaupun sudah kututupi dengan alibi sempurna menurutku. itulah manusia yang pasti akan selalu layak untuk menjadi pencari berita tanpa harus sekolah tinggi untk suatu media nyata. "ya kemarin memang saya dan intania belajar bersama, dan saya memang bersalah, mohon maafnya?" nadaku ku rendahkan sebagai keputusan orang banyak untuk mengambil simpatisan memaafkan. Suasana pagi terasa erat dengan hangat, tawapun tidak lupa untuk hadir disela-sela intonasi suara yang terbuat.
Suara tiba-tiba mengisi ruangan aula dari pojok sofa seseorang sembari membuka coklat untuk dioleskan diatas roti tawar tergeletak pasrah diatas meja "sudahlah, memang sudah waktunya untuk beliau satu ini untuk mencari pasangan yang dia idamkan, kasihan sudah tua lho?" ditutup dengan tawa yang bersaut-sautan. Aku sendiri bingung dengan kalimat tergaris bawah "sudah tua" beranjak aku ikuti mereka karena berhasil memojokkan orang yang sudah terpojok, "masa saya dibilang tua? umur 25 masilah muda tuan?" ungkapku dengan nada tertawa dalam ujung kalimat "25". "25 tahun itu sama saja dengan seperempat abad Egkong?" kata yang keluar kental logat jakarta hadir lengkap untuk mematahkan opsi yang telah aku buat, seperti sebuah jari memainkan pinggul, tertawa geli tumpah ruah disana-sini,  memanglah susah untuk membela diri didepan orang banyak, langkah yang tepat adalah menyebrang jalan dengan hati-hati agar selamat. Belumlah pas untuk menguraikan ini agar terurai jelas tanpa prasangka.
Bersambung... Insya Allah.


»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part III
Pagi telah kembali hadir, masihlah berparaskan dingin membuat malas menyentuh air, memanjakan tubuh yang telah terjebak dalam selimut, Dua jam sebelum subuh memberikan salam. Alarm bernyanyi sudahlah tepat dengan janji yang aku atur jam 03.oo CLT. Tanpa pemanas air yang bekerja karena aliran air dimatikan dari jam 01.oo pagi sampai jam 06.oo. Aku bergegas menyucikan diri dari hadast kecil untuk sesegera bercerita dengan Tuhanku dalam pagi. Mengupas hidup dalam dosa dengan cara terbaik menurutku, ini belumlah berjalan lama dalam rutinitas terbaru yang ku temui didalam diri pribadi, sedikit siasat dengan memenuhi jadwal yang telah Aku buat yang tertempel dalam khizanah kayu berwarna putih gading, dengan menorehkan paraf setelah satu demi satu teratur berjalan sebagai bukti tergabung untuk diri sendiri tentunya. Pemaksaan pada diri sendiri dan itu adalah salah satu usahaku agar hidupku menjadi cerah.
Shalat malam terlaksana sudah, menciptakan rindu seorang Ibu menunggu anaknya dari jauh, serta tetesan mata untuk seorang Ayah diatas sana, Ku tutup dengan titipan Al Fatihah untuk ke-duanya. Aku berlanjut membuka notebook untuk sekedar membuka inbox dan menulis status didalam facebook. "Memang benar kenyataan melahirkan kesadaran menepis ragu, saat ini saja sudah disambut pagi, senang rasanya halaman hati selalu di-isi do'a seorang Ibu yang jauh disana, menghangatkan air dalam basuhan wajah saat bersuci, sudahlah.... sisa sisa lamunan pergilah? Aku sudah terbangun disini. Bi Ismi Rabbi mengawali. Selamat pagi Kairo, selamat pagi menjelang siang Indonesia." itulah status yang Ku buat dan ku lanjutkan memberikan kabar ke Adik-adik dirumah sekedar menanyakan kabar dan menyampaikan kabarku beserta do'a.
Aku teringat 5 hari yang lalu lewat pesan singkat ku kirimkan sebuah pertanyaan "salam, maaf... intan seandainya tidak keberatan silahkan untuk dijawab, dengan cara apa disaat keadaanmu di tengah keraguan, muncul diantara hari. syukran". tidak lama kemudian "wa'alaikumsalam, membiasakan diri dengan membaca surat Al Fath dan Al Mulk ya afwan. :)". balasnya singkat. Kebiasaan intan tertulis singkat gambaran pribadi shalehah tanpa tercoret tergambar, menundukkan celah-celah keburukkan untuk memasuk, tertutup serta terjaga dari lembaran ayat yang dia bacakan untuk dirinya.
Pagi ini dengan surat Al Mulk dan Al fath ditambah ma'surat milik imam Hasan Al banna dengan harap keraguan itu segera menghilang terusir pergi jauh jauh, tanpa ada kata sayonara seperti orang jepang katakan  atau juga sang pramukawan disaat mereka bernyanyi bertemankan malam memutari api unggun dengan barisan melingkar. Setelah subuh menyambut adzan nyaring basah terdengar karena rumahku berjejer tepat dengan masjid, Aku keluar bersama teman rumah meramaikan shafnya. Selepas pulang Aku kembali menuju catatan pagi karena menuliskan suasana adalah salah satu hal melatih hati menjadi peka, ya itulah salah satu keyakinan di-ademnya hidup. "Pastilah ada dalam hidup, dimana pusaran yang menenggelamkan, pusaran yang mampu memisahkan jari jemari dengan satuan tangan, pusaran yang memisahkan setiap fikir dengan hati dan pusaran yang memisahkan nyawa didalam raga. Ada salah satu hal tersadar dibawah alam sadar datang layaknya sebuah ilham, dimana hadirnya tidak hanya menyeka saja tetapi datang menyiram memandikan tubuh kembali menemukan kesegaran, dipersembahkan ketidak fakiran fikir menyesatkan setiap gerak, mencari jalan menuju kesempurnaan manusia yang bernafas atas nama Tuhan, Lailaha Illallah". Selesailah sudah tulisan pagi itu dihari jum'at berselimut sedikit asap kepulan toko roti tepat dibawah rumahku  tercium wangi tercampur manis memaksa masuk merangsang indra cium. sambil menunggu sarapan pagi disiapkan sang pejuang piket masak hari jum'at Aku memilih menyelesaikan lebaran buku mata kuliah untuk hari ahad, bersandingkan kamus Al Masry untuk membantuku melewati kosakata hadir terbaca tanpa makna, satu jam lebih telah berlalu hand phone Aku periksa ada satu panggilan tidak terjawab, intania putri muncul tertulis, Aku memberanikan diri untuk terhubung kembali dengannya. lepas cerita singkat ternyata Aku membawa kotak makan dimana tersuguhkan untukku hari kemarin, sesegera mungkin ku periksa didapur sudah bersih tercuci di rak dapur, tentunya dengan satu permintaan tidak ada yang mengetahui selain kami berempat tentang misteri sebuah kotak makan, ya seperti penyelamatan kotak hitam pesawat setelah terjatuh, akhirnya memunculkan ide dengan membelikan buah anggur untuknya kumasukkan kotak makan didalam tas plastik hitam, dan Aku kembalikan kerumahnya tanpa ada hambatan. hanya sedikit menunggu Intania untuk menyelesaikan shalat duha dipagi itu, tepatnya jam 08.oo CLT. 
Demi mata yang melihat tanpa ada penyembunyian kemunafikan terunduh, diri terasalah malu dengan hal itu semua, kecantikan dan kepribadian indah menyatu menjadi satu, pencapaian bidadari diatas sana nanti yang mana bisa membuat iri setiap bidadari asli langit tanpa pernah menyentuh bumi, atas gambar terekam. Sebuah sejarah kehidupan menjadi salah satu penghuni dan penghias langit, Amin. Dalam perjalanan pulang sebelum jarak mendekati rumah tinggalku Aku tersadar mengenalnya adalah baik, menjadi sahabatnya adalah hikmah, menjadi bagian hidupnya adalah anugrah.
bersambung.....

»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Part II
Entah dengan cara apa untuk bisa mengambil langit, itulah yang Aku pikirkan di belakang wanita itu, hati seringlah tertakjub atas gambar yang tertangkap oleh pandang, Aku sadar ini bukanlah bayangan semata karena itu semua nyata, ada sebuah rasa dimana Aku harus bertindak dewasa, menyikapi dengan caraku sendiri memandangnya disaat Dia melambai, sesuatu hal yang bisa dilihat tapi masihlah tidak terdengar. Apakah Aku tertulikan nuansa sehingga menutup indra dengar? entahlah. Tersadar dalam dalam ternyata seumur hidup bertasbih tidaklah cukup dan sedikit nafas yang mengerti saat menghirup udaraNya tanpa batas, hal kecil yang teringat didalam gubahan Euphoria yang ada. Itulah yang Aku tangkap semenjak mengenal dia lebih dekat setelah disadarkan oleh dzikir, tasbih tercontohkan dalam dirinya. Subhanallah wa bihamdih Subhanallah Al-'Adzim.
Ya Rabb, pribadinya merubah udara menjadi kaca, yakin membuat bisu, mendekat maka hatiku terpenggal.ampunilah hambaMu ini Ya Rabb, pertemuan ini adalah mutlak kesalahan dimana Aku telah membawanya menjadi dosa. Dari itulah Aku mulai menjadi takut, memanggilnya pun terasa segan mendiamkan metafora sejenak tanpa ada suatu perumpamaan karena itu sudah amat sangat jelas dimana hati berubah menjadi peka, tangan masihlah memegang buku yang harus Aku selesaikan, memilah-milah lembar demi lembar tapi tanpa ada fokus jelas, bacaan melayang membaca satu lembar seperti tanpa berujung, "matahari melamun terhalangi bulan" ya mungkin bisa tergambar seperti itu dimana Aku saat itu. Tanpa ada penyesalan yang begitu mutlak dikala lamunan tidaklah terbendung, terlalu nyata sehingga tidak ada rasa membua, Aku akui hari itu sangatlah murni, tanpa ada ratapan kebencian dimana sehari-hari tanpa absent hadir mengisi, kebencian bercampur dalam setiap warna mengoyak tubuh dari dalam, yang jelas Aku sangatlah terpojok. Pada saat dimana lamunan memeluk setiap hati bertanya-tanya handphone dalam saku menyanyikan lantunan biola "sad violin" ternyata nama terlampir Intania Putri bergegas Aku angkat "Assalamu'alaikum Saya sudah selesai, kenapa ya tadi memanggil?" serangkai kalimat Dia ucapkan, "wa'alaikum salam, iya ini bekal makanan sudah siap, Aku bawa dari rumah, sudah tertata rapi dan sudah terpisah." jawabku dengan tanpa koma, "iya syukran ana mau panggil teman dulu ya?" sahutnya sebelum tertutup sembari kulihat dari 30-an meter dia beranjak berdiri aku jawab "iya, Afwan" selesailah obrolan. Beranjak mendekat dengan hidangan seadanya yang ku beli dari sebuah resto Indonesia dekat rumahku, "ayo Kita makan, silahkan mohon maaf bekalnya seadanya" sapaku dengan harap suasana terjaga dalam cair, "terimakasih, ini kebetulan kita juga membawa bekal tapi tidak banyak, untuk kalian?" sembari plastik kecil putih Intania sandingkan 2 langkah dihadapanku ditambahkan 2 pasang hadiah senyuman. "Sambal kentang sama telur" kata yang tersambung disaat tangan mengambil tanpa malu, "wah terimakasih, hmm masakan Intan ya" pertanyaanku yang tersambung terjawab dengan sambutan kepala terangguk dihias senyum. Aku lebih menikmati hidangan yang intan bawa, masakannya nikmat menurutku walaupun temanku disamping sembari menikmati terucap "masakannya sedikit keasinan ya?" diselingi tawa yang cukup merekatkan suasana sore ditaman itu, sambil bercerita sedikit seputar ujian Akhir tahun. Hidangan yang Aku bawa tidak sepenuhnya habis tapi apalah daya kapasitas perut tidaklah memadai dan kita bungkus kembali beberapa hidangan untuk dibawa pulang. Setelah makan kembalilah tersibukkan dengan buku mata kuliah masing-masing, dengan catatan setelah shalat maghrib kita sama-sama untuk pulang. Dan sampailah Adzan maghrib itu terdengar menutup semua buku mempergegas diri menuju tempat shalat dengan Aku menjadi imam disaat itu, selepas itu kita pulang, rumahku dengan rumahnya sangatlah dekat terukur sekitar 200 meter, dengan dalih itu pulang bersama menaiki bus 636 merah, setelah itu selesailah nuansa hangat hari itu.
Aku yakin saat itu bukanlah rasa jatuh cinta, menjadi sahabat baginya adalah suatu hal luar biasa, kepribadian sosok begitu indah tertemukan sudah, menjaganya menjadikan diri sebagai udara untuk mempermudah dalam bernafas, menjadi air agar menyegarkan setiap nadi, menjadi api untuk sekedar menggantikan matahari saat terhalang kabut agar tidak menjadi dingin atau menjadi tanah agar tidaklah goyah dalam menapak setiap langkah, itu hal yang sangat ingin Aku jaga itu saja, tidaklah lebih. Tanpa terasa malam sudah menjadi jadi, membubuh bersama keindahan tanpa cacat. Aku memaksakan diri untuk melihat luar melalui jendela kamar yang langsung menghadap kejalan. Tersadar waktu belajarku habis hanya untuk lamunan dosa menari-nari, dimana saat malam itu Aku ingin melihat pribadinya dari atas menara saja, tanpa ada angin gurun menyapu bersatu bersama dingin, yang mempermainkan tirai mengisi setiap ruangan rumah dimana telah tertumpah oleh dingin. Sudahlah itu hanyalah permainan kata yang Aku buat-buat, agar terkesan seolah-olah ataupun seakan-akan, sadar diri memaklumi itulah hasrat sebuah lamunan.
"Begitu banyaklah untuk Aku tuliskan, tapi diri ini telah berbenah untuk berbalik segera pergi agar tidak selalu mendengar kalimat membual dari orang-orang datang bertemu dan bersapa, Aku sendiri membenci orang-orang berkata baik tentangku dimana sanjungan itu tepat terangkai apik didepan wajah, tanpa dia tau bahwasannya Aku pernah membawa seseorang sahabatku menjadi dosa, mengajaknya menuju tempat dimana dalih belajar menjadi perisai, Aku ingin menegaskan kepada semua bahwasannya tidak ada manusia yang bisa mengusap wajah matahari." ya itulah kata yang Aku tulis dalam notebook malam itu sebelum melanjutkan belajar, membuat pikiran menjadi lebih santai, setidaknya sebuah catatan dosa terunduh dalam sadar walau hanyalah versiku saja, tapi tidak mengapa lah Aku rasa lebih baik dari pada tidak sama sekali.
bersambung....


»»  READMORE...

Intania Putri Maharani

Kursi di taman douleah, berwarna putih coklat kesemuan, diapit 2 pohon dengan daun dan ranting saling bergandengan disampingnya. Selayaknya sebuah taman besar tentu saja dihiasi banyaknya pasangan halnya Romeo dan Juliet, anak-anak kecil berlari-lari bermain dan keluarga kecil sekedar mencari hijau ditengah gurun dengan bekal makanan diatas tikar. Itu semua tidak begitu menarik menurutku, justru Aku tertarik setelah melihat wanita dengan buku mata kuliahnya tepat duduk diatas kursi putih coklat kesemuan itu, menghadap ke jalan besar.
Aku lihat dari belakang, sebelumnya memang kita sudah mengadakan janjian untuk belajar disana. Aku menarik nafas dalam sebelum mendekat, berlahan mengendap seperti tentara gurun menyelinap masuk camp kawanan musuh. Setelah mendekat tepat dibelakangnya Aku berhasil mencuri kekhusu'an bacaan buku yang Ia pegang, Ia terkejut dengan ucapan "salam" yang mendadak terdengar, Aku tertawa geli tapi tertahan, hanya sebuah tarikan bibir sebuah kesimpulan senyum Aku kembangkan, "Ataghfirullah Adiiiiiiiiiiiiit... awas ya? kaget tau?" ucap dia ditutup dengan tawa. Hari itu hari kamis diwaktu dzuhur setelah mengundang, Aku datang disana mambawa buku yang ingin Aku selesaikan dihari itu, maklumlah dalam suasana ujian akhir tahun disebuah Universitas ternama dibumi ini, tentunya tidak lupa untuk bekal untuk menemani belajar kita siang itu. Puasa senin dan kamis memang sengaja Kami liburkan sementara untuk menghadapi ujian, Aku berikan sebotol susu kurma yang Aku beli di Mall Wonderland, tepat di samping taman Douleah, "nih ada susu kurma, lumayan untuk mengobati haus, met belajar ya?" sambil ku letakkan tepat disampingnya. "iya.. makasih ya?" balas dia dengan senyum. Bergegas Aku menjauh mencari tempat yang Aku anggap ternyaman untuk membaca, setelah berhasil membuat gangguan ditengah belajar. 
Belajar di alam terbuka sangatlah nyaman menurutku apalagi ditengah pepohonan dan rerumputan hijau, dikala bosan itu datang sesekilas melihat anak kecil bermain dengan Ayahnya, lenyaplah kebosanan dan lahirlah kesemangatan. Aku datang kesana tidaklah sendiri tepatnya bersama teman satu rumah, Ia juga tidak sendiri waktu itu, Dia bersama temannya tapi tidak satu rumah dengannya. Kami sibuk dengan buku masing-masing, lagipula bahasa asing tidaklah semudah dalam memahami dan manghafalkan apa yang kita baca. Sesaat adzan Asharpun terdengar beranjak mengambil wudhu dan shalat di tempat terbuka, indah ya itulah yang bisa aku nilai diwaktu itu dimana angin menambah khusyu' disetiap bait yang terbaca. setelah sholat Ashar Aku baranjak menengoknya apakah masih khusyu' dengan belajarnya, oh ternyata sudah berpindah dari tempat yang semula, berpindah tempat dengan duduk diatas rerumputan. Dari belakang Aku panggil Dia ternyata hanya melambaikan tangan, akhirnya memberanikan diri mendekat kedua kalinya, Subhanallah ternyata Aku telah mengganggunya yang sedang membaca ma'surat. Aku mundur dan malu saat itu.
Bersambung....
»»  READMORE...

Bi Ismi Rabbi Astaghfir.

Kumpulan dosa sudah terbungkus,
cacatan cacat mulai rapih berjajar,
saat dunia merapuh,
 jiwa kotor tidaklah lagi bersemayam,
sudahlah terbangun bersama air,
telisik malam mengubah siang,
dimana ketakutan telah menjadi-jadi.

Tubuh serasa mengering meminum api,
gubahan garis keras mulai menyala,
tamak hati menuduh nafas-nafas setiap hidup,
beralih arah bertumpuk tombak,
tidak tertumpul.

Diwaktu tangis tanpa tertepis,
bagian jari telunjuk mati rasa lelah menghapus,
atas nama dinginnya air mata,
membunuh hati menghapus peka,
tidaklah arti terjinjing makna,
apabila mulut berkata setan.

memanglah ada manusia buta akan warna,
tidak ada hakikat buta rasa,
apakah masihlah layak,
saat berkata tanpa menerka,
"masih ada cinta"
dimanakah janji-janji itu terikat?
didalam hati sudah menggelap.

Bi Ismi Rabbi Astaghfir.            Bi Ismi Rabbi Astaghfir.
Bi Ismi Rabbi Astaghfir.

Astaghfirullaha al'adzim.
»»  READMORE...

Hidup tanpa antri.

       Dingin masihlah bermain bersatu dengan udara dibulan november ini. Memelaskan tubuh apabila diguyur dengan air yang telah berubah menjadi dingin, disandingkan keluhan kata "wah dinginnya!!!" suatu hal tidaklah begitu penting untuk diutarakan, karena semuanya pasti merasakan dinginnya cuaca gurun daratan Afrika ini, ya itu sedikit gambaran tentang cuaca di Kairo saat ini.
Sementara diluar sana lapangan tahrir tepatnya masihlah dengan rentetan acara pembakaran mobil-mobil sebagai api unggun, pemanas tubuh para demonstran di jalan-jalan. Sementara Aku masih dipusingkan dengan daftar ulang pembayaran kuliah yang masih ricuh, susah yang harus dinikmati dan dijalani di ruang kebudayaan tidak mengenal antri, hanya ingin menang sendiri, ya begitulah berdorongan seperti manusia tidak mengenal Tuan.
Tapi sudahlah.... mau tidak mau ya harus Aku ikuti keinginan mereka dalam bermain, walaupun sudah 3 hari ini belum berhasil untuk menaklukan budaya tanpa antri ini, esok haruslah kembali ke kampus lebih pagi berharap setidaknya bisa memeluk pintu administrasi, bisa dikatakan butuh rutinitas kesabaran luar biasa dari kebiasaan orang jawa ini, yang disuguhkan tata krama dalam bersosial dari sejak kecil. Memang lain suku lain budaya apalagi negara?.
Kekerasan pribadi watak fir'aun masihlah tersisa walau sedikit-sedikit di tanah ini, keras dan meluapkan amarah mereka dikala berselisih, tapi anehnya dikala emosi itu datang memucuk tinggallah kita ucap mantra "sollu 'alannabi" berubahlah wajah-wajah memerah menjadi dingin, tanpa panjang kata meninggalkan medan pertempuran kata seiring shalawat, disanalah yang sulit sekali bagi orang Indonesia seperti Aku, begitu mudahnya menekan suatu amarah dengan shalawat kepada Muhammad SAW. Subhanallah.
Memang benar kenyataan itu melahirkan kesadaran, menepiskan ragu dan indah disaat Aku sambut, dari sini awal Aku berpetualang dimana Aku terbangun menjadi lebih baik. Inginku yaitu bisa berjelajah dari satu budaya ke budaya yang lainnya, menelusuri waktu dengan peta menunjukan keindahan setiap bangsa, sembari mencari dimana sajakah hidup tanpa antri itu terbudayakan juga dimana sajakah budaya antri terbaik di Dunia dalam pandangan mataku sendiri dengan ditemani Ibu Adik-adikku juga Istri dan Anak-anakku nanti, dimana bukti terjadi nyata bukan hanya cerita.
Bi ismi Rabbi sudah Aku Awali, Ya Allah Engkau Maha Pendengar, Aku titipkan semua mimpiku kepadaMu Ya Allah.

»»  READMORE...

Percayalah


Sebuah
perjuangan
menghilangkan
sakit,
ya
begitulah
perjuangan
untuk
menemukan
yang
sama
.
Semoga
Hari
Esok
Angin
Hangat
Kembali
Disini
Walaupun
Matahari
Bisa
Dibilang
Tidak
Begitu
Cerah
.
Masih
Ada
Api
Pengganti
Sementara
Untuk
Ku
.
*untuk apa yang telah masuk dalam hidup, bawalah untuk kembali*
 .lintang sastra.
»»  READMORE...

Untuknya


Apakah ini kenangannya? 
yang dibangkitkan melalui kedua mata, 
membawa kembali kesisi hidup yang membentur bersama dingin, 
terbelalak takut namun sudah terjadi. Aku belum dapat menemukan jawaban,
belum dapat menemukan mengapa juga belum dapat membuatnya menjadi nyata, hanya ada keyakinan bahwasannya Aku berpihak benar dan Aku tau harus banyak mencoba walaupun setelah nanti kehidupan itu pergi, 
ada kesemangatan meneruskan yang akan membawanya kembali. 
Ya Allah Aku titipkan semua kenangan agar tidak hilang... agar tidak hilang. 
Lillahi tawakaltu.

»»  READMORE...

Karena Aku dan Kamu



Tolong jangan nyalakan lilin sebelum cerita ini berakhir, 
agar tidak selamanya gelap itu bersembunyi.

Tidak ada waktu yang cukup untuk hidup, walau gambar cerita begitu dalam tertampak diatas mata-mata berkaca, beranjak turun dengan kepala tertunduk seperti terpenggal tanpa memperhatikan awan sehabis hujan. Tidaklah salah bertanya tentang senyum yang hilang.

Cerita ini bukanlah seperti garis diatas pasir pantai yang mudah terhapus. karena Aku percaya, dimana semakin dewasa, semakin mengerti walaupun dalam nyata, semakin mendekati mati. 
Susuanan mimpi dinamis tertuntun seperti selembar kain, gagah halnya ksatria penjaga setiap cintanya, ceritanya hanya membuku untukku, dengan tumpukan batu-batu yang terhitung,, berpondasikan tanah yang tidak akan berubah menjadi gelap, tanpa ada keselamatan itu tenggelam. dengan mengharapkan rahmat datang menjangkau jauh melampaui cahaya batas, dari setiap Alfatihah yang Aku titipkan kepadaNya untuknya. Aku tidak peduli apakah dia merasa dari setiap apa yang Aku titipkan kepada Tuhanku untuknya. Entahlah... 7 waktu diatas simpuh selalu Aku sisipkan namanya setelah Aku dan keluargaku.
Wajah hanyalah wajah, pribadi itulah yang akan selalu membuncah, mendekatinya sama halnya menentukan Ibu Kota dalam negara.
Sampailah ditanggal itu....
Atas apa yang dimulai dari tawa ternyata berubah menjadi sakit, tanpa terkurang sedikitpun ketika udara terasa tebal memeluk. Ringkasan hidup yang ada sangatlah sederhana, hanyalah sebuah metafora yang mulai redup dalam ikatan ironi sempurna, seperti peluru yang datang dalam gelap tanpa tau muka sang penembak, yang ada hanya memutarkan tubuh disertai sakit terlanjutkan jatuh.
Keheningan menghitam sorakanpun terdiamkan, "Aku bukanlah manusia tanpa wajah" itulah sisa kalimat terakhir.
(Dia tersenyum sudahlah cukup membuat senang)

Alhamdulillah 'ala jami'il khayah wa ni'mah.
»»  READMORE...