Cari Blog Ini

Intania Putri Maharani

Part IV
Sejenak setelah Aku antarkan misteri sebuah kotak makan, Aku memungkinkan diriku menjadi mungkin untuk membeli beberapa makanan kecil, perabotan mandi dan sekedar membeli susu, walau harus menyebrangi jalan besar. Aku memilih menyebrangi jalan karena didepan sana ada sebuah mini market yang terbilang cukup sedikit murah walau hanya selisih beberapa sen pound saja, dan bagiku itu penting. Sepanjang perjalanan terdengar sebuah nyanyian cinta dari sebuah mobil sedan putih dengan kaca pintu terbuka penuh, sebuah lagu cinta nyaring bersih dengan suara penyanyi laki-laki terdengar gurih. Diwaktu itu Aku memilih bersekenario dalam ceritaku sendiri sembari berjalan dibawah cuaca sedikit tertebak olehku. Cerita cinta merupakan tarian-tarian moyang abadi, membaranya seperti api hadir ditengah daratan es lepas meruah-ruah, menghangat mengumpulkan orang-orang terjebak dingin. 
Ikhtisar pati hidup membakar-bakar membuka sang kebengisan menghilang karena lemah didepan sebuah cinta. Aku disini tidaklah ingin seperti manusia-manusia yang terjebak mati ditengah himpitan pasti, mengagungkan cinta diatas segalanya. Aku memilih hari ini karena ini adalah hidupku dengan Tuhanku. Disisi lain terdengar segerombol dialog manusia diatas dasar tumpuan kuat kedalam sebagai congkok berdiri tanpa terlelah, itu kata orang-orang berlalu lalang didepan monitor hidupku terlihat memistiskan karunia. Mata hanya bisa berkaca-kaca setelah lama memendung seperti awan menunggu angin berjalan sembari meliput manusia berlari-lari mencari teduh tidak tertetes basah. terlihat gambaran pantul diwajah awan ketika awan terdorong berarak membawa air semakin menutup. Tetapi Aku bukanlah pribadi terhenti berdiri berusaha menghitung sampai kapan hujan mereda, menghitung setiap butir air didepan mata yang sesekali melihat keatas mencari awan putih diantara hitam berkemul tebal, karena tidak adanya keyakinan diujung jauh sebelah timur terlihat dimana awan itu memutih dan hanya terdiam tanpa melupakan rahasia hujan dibalik kesempurnaan. dengan harap semoga diriku tidak terjebak didalam cinta yang salah arti, sudahlah itu hanya imajinasi semena-mena dalam diriku.
Aku bergegas memenuhi hajatku dipagi itu, mengawasi jalan saling tarik menarik antara kaki dengan suasana mobil beruntun cepat sesaat dikala menyebrang. disni tidaklah nyaman dalam hal menyebrangi sebuah jalanan, dan ini sudah menjadi salah satu kebencian disni karena sudah 2 kali terhitung nyaris tertabrak. (Alhamdulillah masih hidup Ya Allah). Sebuah sketsa hidup pastilah ada histeria yang menjadikan itu sebagai pelengkap anugrah, tidaklah indah hidup tanpa ketakutan. setengah jam sudah berlalu Akupun sudah memasuki rumah, disambut dengan rangkaian ucapan atas mata manusia karena tidak akan berhenti meliput suatu peristiwa, "dit, kemaren belajar sama siapa ya?" sapa temanku nada ngeledekpun terlukis dengan ekspresi wajah tersenyum mencari dukungan masa untuk menghunus sebuah peristiwa, atau dikorek sampai akarnya, mungkin saja ini mereka anggap suatu sejarah. Bergegas menyuapnya dengan plastik yang aku bawa ke sandingkan diatas meja lengkap bersama sabun. Apalah daya sebuah tindakan ternyata tidak secepat kecepatan suara. menggugah orang-orang didalam kamar menuju aula tengah sembari mencibir, dan akhirnya berujung pasrah walaupun sudah kututupi dengan alibi sempurna menurutku. itulah manusia yang pasti akan selalu layak untuk menjadi pencari berita tanpa harus sekolah tinggi untk suatu media nyata. "ya kemarin memang saya dan intania belajar bersama, dan saya memang bersalah, mohon maafnya?" nadaku ku rendahkan sebagai keputusan orang banyak untuk mengambil simpatisan memaafkan. Suasana pagi terasa erat dengan hangat, tawapun tidak lupa untuk hadir disela-sela intonasi suara yang terbuat.
Suara tiba-tiba mengisi ruangan aula dari pojok sofa seseorang sembari membuka coklat untuk dioleskan diatas roti tawar tergeletak pasrah diatas meja "sudahlah, memang sudah waktunya untuk beliau satu ini untuk mencari pasangan yang dia idamkan, kasihan sudah tua lho?" ditutup dengan tawa yang bersaut-sautan. Aku sendiri bingung dengan kalimat tergaris bawah "sudah tua" beranjak aku ikuti mereka karena berhasil memojokkan orang yang sudah terpojok, "masa saya dibilang tua? umur 25 masilah muda tuan?" ungkapku dengan nada tertawa dalam ujung kalimat "25". "25 tahun itu sama saja dengan seperempat abad Egkong?" kata yang keluar kental logat jakarta hadir lengkap untuk mematahkan opsi yang telah aku buat, seperti sebuah jari memainkan pinggul, tertawa geli tumpah ruah disana-sini,  memanglah susah untuk membela diri didepan orang banyak, langkah yang tepat adalah menyebrang jalan dengan hati-hati agar selamat. Belumlah pas untuk menguraikan ini agar terurai jelas tanpa prasangka.
Bersambung... Insya Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar