Cari Blog Ini

Intania Putri Maharani

Part II
Entah dengan cara apa untuk bisa mengambil langit, itulah yang Aku pikirkan di belakang wanita itu, hati seringlah tertakjub atas gambar yang tertangkap oleh pandang, Aku sadar ini bukanlah bayangan semata karena itu semua nyata, ada sebuah rasa dimana Aku harus bertindak dewasa, menyikapi dengan caraku sendiri memandangnya disaat Dia melambai, sesuatu hal yang bisa dilihat tapi masihlah tidak terdengar. Apakah Aku tertulikan nuansa sehingga menutup indra dengar? entahlah. Tersadar dalam dalam ternyata seumur hidup bertasbih tidaklah cukup dan sedikit nafas yang mengerti saat menghirup udaraNya tanpa batas, hal kecil yang teringat didalam gubahan Euphoria yang ada. Itulah yang Aku tangkap semenjak mengenal dia lebih dekat setelah disadarkan oleh dzikir, tasbih tercontohkan dalam dirinya. Subhanallah wa bihamdih Subhanallah Al-'Adzim.
Ya Rabb, pribadinya merubah udara menjadi kaca, yakin membuat bisu, mendekat maka hatiku terpenggal.ampunilah hambaMu ini Ya Rabb, pertemuan ini adalah mutlak kesalahan dimana Aku telah membawanya menjadi dosa. Dari itulah Aku mulai menjadi takut, memanggilnya pun terasa segan mendiamkan metafora sejenak tanpa ada suatu perumpamaan karena itu sudah amat sangat jelas dimana hati berubah menjadi peka, tangan masihlah memegang buku yang harus Aku selesaikan, memilah-milah lembar demi lembar tapi tanpa ada fokus jelas, bacaan melayang membaca satu lembar seperti tanpa berujung, "matahari melamun terhalangi bulan" ya mungkin bisa tergambar seperti itu dimana Aku saat itu. Tanpa ada penyesalan yang begitu mutlak dikala lamunan tidaklah terbendung, terlalu nyata sehingga tidak ada rasa membua, Aku akui hari itu sangatlah murni, tanpa ada ratapan kebencian dimana sehari-hari tanpa absent hadir mengisi, kebencian bercampur dalam setiap warna mengoyak tubuh dari dalam, yang jelas Aku sangatlah terpojok. Pada saat dimana lamunan memeluk setiap hati bertanya-tanya handphone dalam saku menyanyikan lantunan biola "sad violin" ternyata nama terlampir Intania Putri bergegas Aku angkat "Assalamu'alaikum Saya sudah selesai, kenapa ya tadi memanggil?" serangkai kalimat Dia ucapkan, "wa'alaikum salam, iya ini bekal makanan sudah siap, Aku bawa dari rumah, sudah tertata rapi dan sudah terpisah." jawabku dengan tanpa koma, "iya syukran ana mau panggil teman dulu ya?" sahutnya sebelum tertutup sembari kulihat dari 30-an meter dia beranjak berdiri aku jawab "iya, Afwan" selesailah obrolan. Beranjak mendekat dengan hidangan seadanya yang ku beli dari sebuah resto Indonesia dekat rumahku, "ayo Kita makan, silahkan mohon maaf bekalnya seadanya" sapaku dengan harap suasana terjaga dalam cair, "terimakasih, ini kebetulan kita juga membawa bekal tapi tidak banyak, untuk kalian?" sembari plastik kecil putih Intania sandingkan 2 langkah dihadapanku ditambahkan 2 pasang hadiah senyuman. "Sambal kentang sama telur" kata yang tersambung disaat tangan mengambil tanpa malu, "wah terimakasih, hmm masakan Intan ya" pertanyaanku yang tersambung terjawab dengan sambutan kepala terangguk dihias senyum. Aku lebih menikmati hidangan yang intan bawa, masakannya nikmat menurutku walaupun temanku disamping sembari menikmati terucap "masakannya sedikit keasinan ya?" diselingi tawa yang cukup merekatkan suasana sore ditaman itu, sambil bercerita sedikit seputar ujian Akhir tahun. Hidangan yang Aku bawa tidak sepenuhnya habis tapi apalah daya kapasitas perut tidaklah memadai dan kita bungkus kembali beberapa hidangan untuk dibawa pulang. Setelah makan kembalilah tersibukkan dengan buku mata kuliah masing-masing, dengan catatan setelah shalat maghrib kita sama-sama untuk pulang. Dan sampailah Adzan maghrib itu terdengar menutup semua buku mempergegas diri menuju tempat shalat dengan Aku menjadi imam disaat itu, selepas itu kita pulang, rumahku dengan rumahnya sangatlah dekat terukur sekitar 200 meter, dengan dalih itu pulang bersama menaiki bus 636 merah, setelah itu selesailah nuansa hangat hari itu.
Aku yakin saat itu bukanlah rasa jatuh cinta, menjadi sahabat baginya adalah suatu hal luar biasa, kepribadian sosok begitu indah tertemukan sudah, menjaganya menjadikan diri sebagai udara untuk mempermudah dalam bernafas, menjadi air agar menyegarkan setiap nadi, menjadi api untuk sekedar menggantikan matahari saat terhalang kabut agar tidak menjadi dingin atau menjadi tanah agar tidaklah goyah dalam menapak setiap langkah, itu hal yang sangat ingin Aku jaga itu saja, tidaklah lebih. Tanpa terasa malam sudah menjadi jadi, membubuh bersama keindahan tanpa cacat. Aku memaksakan diri untuk melihat luar melalui jendela kamar yang langsung menghadap kejalan. Tersadar waktu belajarku habis hanya untuk lamunan dosa menari-nari, dimana saat malam itu Aku ingin melihat pribadinya dari atas menara saja, tanpa ada angin gurun menyapu bersatu bersama dingin, yang mempermainkan tirai mengisi setiap ruangan rumah dimana telah tertumpah oleh dingin. Sudahlah itu hanyalah permainan kata yang Aku buat-buat, agar terkesan seolah-olah ataupun seakan-akan, sadar diri memaklumi itulah hasrat sebuah lamunan.
"Begitu banyaklah untuk Aku tuliskan, tapi diri ini telah berbenah untuk berbalik segera pergi agar tidak selalu mendengar kalimat membual dari orang-orang datang bertemu dan bersapa, Aku sendiri membenci orang-orang berkata baik tentangku dimana sanjungan itu tepat terangkai apik didepan wajah, tanpa dia tau bahwasannya Aku pernah membawa seseorang sahabatku menjadi dosa, mengajaknya menuju tempat dimana dalih belajar menjadi perisai, Aku ingin menegaskan kepada semua bahwasannya tidak ada manusia yang bisa mengusap wajah matahari." ya itulah kata yang Aku tulis dalam notebook malam itu sebelum melanjutkan belajar, membuat pikiran menjadi lebih santai, setidaknya sebuah catatan dosa terunduh dalam sadar walau hanyalah versiku saja, tapi tidak mengapa lah Aku rasa lebih baik dari pada tidak sama sekali.
bersambung....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar