Zahra, sigadis kecil dari Gaza. Cantik berambutkan
gelombang warnanya coklat semu kemerah-merahan, panjang sebahu. Matanyapun
coklat tatapan gurun yang memikat, alisnya lentik selayak tepian matahari
sewaktu tenggelam, bibirnya yang mungil manis sekali, jika dibalut dengan
senyum maka apalah arti bunga mawar, melatipun cemburu dengan kecantikan zahra.
Ayahnya bukanlah pemberontak tapi ayahnya adalah pejuang kemanusiaan, pejuang
hak dan juga pejuang kewajiban. tepat 10 hari yang lalu dari hari ini, zahra dengan
ayahnya masih bisa berlari-lari, saling kejar mengejar, sekedar untuk menangkap
zahra dan memanggulnya. Mereka memanfaatkan momen itu sebagai dongeng dongeng
hidup, karena Ayahnya paham hanya dongeng-dongenglah kebahagiaan zahra bisa
tumbuh, walau semu tetap apik untuk pondasi jiwa sang buah hatinya. Kaki
Ayahnya tangguh, lebih tangguh dari umurnya yang baru sekitar 36-an tahun.
Lelaki gagah, berbadan bidang tegap, khas sekali tubuh orang Arab, tinggi
besar. Dia Ayah yang baik dan juga pejuang tangguh ahli penembak jarak jauh.
Hidup didaerah konflik bukan merupakan suatu keinginan
yang diharapkan, manusia apapun dari segi bangsa manapun. Begitu juga zahra
kecil, yang baru menginjak umurnya ke 6, dihari ulang tahunnya disambut dengan
lelalu peluru, roket mendesing dan serapah kalimat-kalimat ayat kematian yang
sama sekali belum dia pahami. Sepaham zahra hanyalah, dia ditinggalkan Ibunya
oleh deru-deru pesawat terbang, hitamnya seperti gagak, lalunya segaris kilat,
pesawat penyebar duka untuk zahra kecil dan zahra yang lainnya, pesawat yang
membayangi dalam tidurnya, iya mimpi buruk bagi dirinya.
Siang hari sebelum malam ulang tahun zahra, Ayahnya atau
sebut saja Sahed namanya, Sahed bin Ahmad bin Abdallah.Sahed menuntun zahra
kepasar, membeli sedikit keperluan sehari-hari, hal itu biasa mereka lakukan
rutin setiap 3 hari sekali. Rutinitas tersebut sudah berjalan selama 3 tahun,
atau selepas ibu zahra wafat oleh tentara-tentara itu. Ibu zahra wafat ketika
membeli susu untuk zahra, zahra ikut disaat itu, karena ayahnya memang pulang
agak larut malam karena perumusan pergerakan perjuangan pembebasan dari
penjajah, kejadian sewaktu malam selepas Isya. Diwaktu itu Zahra terakhir
kalinya merasakan arti sebuah pelukan, sebagai tempat bahagia, tempat
perlindungan dan tempat dia menangis sedalam-dalamnya tangisan, tempat
bermanja-manja bagi anak kecil seumur 3 tahunan. Para lidah kalu untuk
menceritakan, imajinasi pupus untuk membayangkan, iya tentang seorang ibu yang
wafat melindungi anaknya dari sebuah serangan teror, kejadian yang sangat
begitu cepat. Zahra masih ingat betul bagaimana kepanikan yang begitu singkat
sebelum kejadian itu terjadi. Dia tidak mendengar jelas setelah dentuman besar
berlabuh dikerumunan pasar itu, samar-samar melihat orang-orang berlalu lalang,
tangan mungilnya mencoba untuk mendekap ibunya tapi tak mampu, yang dia tau
adalah ibunya tertidur pulas dengan memeluk tubuhnya, lembut, hangat, dan basah
memerah dipelipis kiri ibunya, merambas dari balik kerudung hitam.
"Ummi??" Lirih zahra mengucap kalimat itu dengan berbalaskan senyuman
termanis dari ibunya dan sebuah kecupan sayang jatuh dipipi zahra, zahra tidak
sadar, memandang wajah ibunya samar-samar, hilang. Seorang ibu masih bisa dan
mampu memberikan senyuman disaat hal tersakit merajam tubuh, terenyuh
benar-benar terenyuh. Selamat jalan fatimah, selamat jalan pejuang kehidupan.
"Bi, kenapa kita kepasar lagi? bukankah kemarin kita
baru kepasar bi?" zahra mengayunkan tangan ayahnya, suasana pasar yang
tidak begitu ramai, pertanyaan zahrapun gurih nyaring terdengar. Sahed
membungkuk dan mencium tangan kiri zahra dengan tersenyum lembut Sahed
membalas.Sahed memang selalu membungkukkan badannya ketika menjawab beberapa
pertanyaan dari zahra sibuah hatinya, seusai menjawab dia langsung menegakkan
badan dan melanjutkan berjalan. Jika Zahra menghujaninya dengan ribuan tanya
maka Sahed menggendongnya atau memanggul zahra dibahunya.
"Iya Zahra sayang, abi mau membeli beberapa koran
bekas, dan benang panjang juga lem, yuk kita ke toko itu dulu zahra?"
mereka berdua merujuk ke toko buku kecil, toko buku dipojok pertigaan pasar,
sebelah kiri dari arah mereka. Zahra mengangguk cepat dan ayahnya tersenyum.
"Saudaraku Abdalla, saya membutuhkan lem dan
beberapa koran bekas, apakah ada disini?" Sahed bertanya kepada si pemilik
toko, Abdalla namanya, orangnya jangkung, kurus kering, jenggotnya lebat,
matanya sepuh, tapi suaranya masih nyaring terdengar.
"hey Sahed? iya disini ada koran bekas akan tetapi
tidak untuk dijual dan aku tidak menjual lem, tapi saya ada lem yang bisa untuk
kamu pakai sahed?" Tukas Abdalla menjawab cepat, Sahed tersenyum dan
menepuk pundak Abdalla.
"Terimakasih abdalla atas lemnya, ohya dimana
sekiranya aku bisa mendapatkan koran bekas?" Abdalla terlihat membersihkan
beberapa tumpukkan dibalik rak buku. rak buku setinggi pinggang, sebagai sekat
antara kamar tidur dengan toko.
"Disini Sahed, disini... apa yang kamu butuhkan itu
disini." Abdalla membersihkan diatas lantai, dia meniup-niupnya agar
terbebas dari debu-debu.
"Terimakasih Abdalla, kebaikanmu sungguh berarti,
setiap kali kamu seperti ini."
"Sudahlah Sahed, apalagi yang kamu butuhkan,
cepatlah hari mendekati sholat dzuhur, saya harus kemasjid." Abdalla
mengusap bagian atas koran itu dan menyerahkannya ke sahed beserta sekaleng lem
besar yang sudah terpakai setengah.
"Untuk yang satu ini aku harus membayarnya, Aku
mohon kamu tidak menolak, karena itu adalah salah satu kebahagiaan untukku
abdalla, aku harus membeli 10 lembar kertas putih." Sahed memberikan 3
keping receh dengan satuan mata uang israel, iya karena dinegara mereka belum
diakui keberadaannya oleh dewan perserikatan bangsa-bangsa, belum memiliki mata
uang sendiri dan bahkan yang beredar adalah mata uang mesir atau Egypt Pound
untuk wilayah perbatasan di semenanjung sinai, dan mata uang Yordania Jordania
Dinnar untuk daerah perbatasan Yordania.
Abdalla menerima uang itu, dia tersenyum, dia keluar dari
toko menemui zahra. "Ini zahra cantik, pamanmu ada sedikit rejeki,
silahkan gunakan dengan baik ya?" Abdalla mencium kening zahra dan sahed
dengan senyum lebar melihat polah Abdalla. Sahed dan Abdalla bersalaman dan
berpelukan, sebuah cara apik mereka untuk berpisah.
Tidak jauh dari pertigaan pasar Zahra dan ayahnya menuju
toko benang, Sahed membeli satu bundel benang tipis berwarna hitam. Mereka
pulang. Ditengah jalan pulang, melewati beberapa pemukiman yang ramai,
anak-anak kecil sehabis bermain bola di gang-gang kecil pemukiman, ada juga
yang pulang dari kelas-kelas darurat dibeberapa bangunan puing-puing terbuka,
bangunan yang belum selesai dibangun dengan tembok baru seberapa.
"Abi, untuk apa kertas-kertas itu dan untuk apa
koran-koran bekas itu?" Zahra menengadahkan wajahnya kearah kanan
memandang ayahnya. Sahed kembali membungkukkan badan dan zahra pandangan zahra
mengikuti gerakan badan ayahnya sambil mendengarkan jawaban ayahnya yang tinggi
besar itu.
"Ini untukmu zahra, malam ini Abi akan mengajakmu
bermain dengan apa yang Abi bawa saat ini". Zahra dengan cepat mencium
pipi kiri ayahnya sebelum ayah menegakkan badannya kembali.
"Zahra sayang Abi." ujung kaki kiri zahra
mematuk jalanan, begitulah cara zahra kalau merasakan malu, ujung kaki kirinya mematuk-matuk
lantai. Sahed membalasnya dengan kecupan dikening dan mencubit sedikit pipi
zahra.
"Abi juga sayang zahra." mereka berdua tertawa
dan kembali berjalan.
"Bi, zahra ingin membeli kain warna hijau itu, untuk
Abi, apa Abi mengizinkanku untuk membeli itu bi? dengan uang ini dari paman
Abdullah tadi bi?" Mereka menghentikan perjalanan mereka, tepat didepan
pedagang kaki lima tidak jauh dari tempat tinggal zahra, penjual kain-kain
kecil yang bertuliskan semangat perjuangan. Zahra menarik jubah ayahnya, sahed
pun mengangguk tanda meng-iyakan.
---------.....---------
Sore hari selepas ashar, Sahed memulai memotong
koran-koran bekas menjadi kotak-kotak kecil. Zahra memeluk ayahnya dari
belakang, Sahed terkejut meletakan gunting dan potongan kertas, membalikkan
tubuhnya menangkap Zahra dan mengangkatnya. "Hahaha kamu mengagetkan abi,
zahra??".
Zahra tertawa lepas pasrah dimain-mainkan oleh ayahnya,
diayun keatas-kebawah, berulang tiga kali Sahed mengayunkan tubuh zahra kecil.
Sahed mendudukkan zahra diatas meja.
"Abi, sudah waktunya bermain dengan kertas ya?"
Timpal Zahra sambil membenarkan rambutnya, setelah sedikit berantakan akibat
ulah ayahnya yang iseng.
"Iya sayang, hayuk kita bermain, sebentar ya abi
potong kertas ini dulu menjadi beberapa bagian." Zahra melihat dengan
seksama.
"Abi, sebenarnya kita mau bermain seperti apa?"
"Kita akan membuat angsa-angsa dari kertas,
bahasanya origami." sahed melanjutkan dan menyelesaikan potongan terakhir.
"Abi, zahra belum paham seperti apa? angsa itu bebek
putih yang besar itu kan bi? yang biasa terbang diatas danau, dan suka bermain
diatas danau?"
"Iya, kamu ingat dengan baik dari apa yang abi
dongengkan kepadamu zahra?"
"hehe terimakasih bi."
"Lihat dengan seksama ya zahra, Abi akan melipat
beberapa bagian kertas persegi empat ini menjadi beberapa bagian, nanti setelah
ini selesai zahra ikuti ya?" zahra mengangguk cepat dengan senyumnya yang
mengalahkan mawar.
"Wah cantik Bi, cantik sekali angsa kecilnya..?
zahra akan buatkan juga untuk abi, seini angsa bi." Zahra membuka semua
jari-jarinya ke arah ayahnya.
"Hahaha, itu banyak sekali, sini ikuti abi ya? ini
kita bentuk menjadi segitiga besar lalu segitiga kecil, setelah itu kita buka
lipatan segitiga tadi kebentuk semula, seperti ini, lalu kita ketengahkan
lipatan ini seperti ini zahra, seperti ini lalu seperti ini." Singkat
Sahed kepada anaknya. Zahra mengikuti dengan baik, mampu membuat angsa dengan
sendirinya dengan menirukan gerak ayahnya yang sengaja tidak begitu cepat
setelah belasan angsa terkumpul dari tangan Sahed.
Origami angsa dari koran bekas sudah terkumpul banyak
diatas meja, Sahed kembali memotong 10 lembar kertas putih menjadi dua bagian,
untuk membuat angsa serupa, Zahra menghabiskan semua kertas-kertas putih itu.
Sementara waktu Sahed sibuk mengantungkan angsa-angsa kertas disetiap sudut
rumah mungilnya, untuk bagian atap Sahed menggunakan lem dan kertas untuk
menempelkan benang di tembok atap, yang tersisa hanyalah angsa-angsa putih
diatas meja, rumah menjadi begitu ramai dengan angsa-angsa mengambang, serasa
angsa-angsa terbang diruang-ruang.
"Abi, zahra suka sekali... indah ya? seperti
dindanau hehehe..."
"hahaha Iya gadis kecilku, Abi bahagia hari
ini."
"Abi, selamat tahun baru hijriah ya? Tuhan
memberkahi kita dalam segala hal bi, Zahra sayang Tuhan, Zahra juga sayang Abi
juga Ibu."
"Iya cantik, selamat ulang tahun ya, hari ini genap
usiamu yang ke 6." Sahed mendekati zahra dan memeberikan sebuah kotak
sebesar kue ulang tahun pada umumnya.
"Ini nak, ada sedikit kado dari Abi." bergegas
zahra tanpa kata-kata membuka langsung bingkisan kado tersebut, dia menemukan
satu buah kunci yang mana itu adalah kunci rumah yang mereka tempati saat ini,
dan dibalik kunci ada sebuah Al - Qur'an cantik cetakan beirut. Zahra memeluk
ayahnya dari atas meja, zahra menangis bahagia.
"Abi, terimakasih zahra sudah bisa belajar menghafal
Al-Qur'an dengan baik, Zahra berusaha untuk menghafal seluruh Al-Qur'an dengan
Al-Qur'an ini bi?" Zahra ditengah tangis bahagia.
"Iya Zahra, jadilah anak yang shalihah, menjadi
muslimah yang baik, mu'minah, membawa perubahan dunia yang penuh dengan cahaya,
gunakan Al Qur'an ini dengan baik, dan juga jaga kunci rumah ini ya?."
Sahed mengalungkan kunci itu, zahra memegang pipi kanan ayahnya, tangannya yang
mungil memberikan arti kekuatan perjuangan dari setiap sentuhan, iya sentuhan
kasih sayang.
Waktu sebelum tidur, seperti biasanya zahra meminta
ayahnya untuk mendongeng. Zahra meminta ayahnya untuk menceritakan kembali
cerita angsa, sembari bercerita tentang angsa, terlihat Sahed menggantungkan
angsa-angsa kecil dari kertas putih diatas tempat tidur Zahra. Belum pernah
zahra terlihat sebahagia malam itu, sahedpun lebih bersemangat untuk
mendongeng, cerita sudah berakhir akan tetapi zahra belum saja terlihat
mengantuk.
"Kenapa Zahra? kenapa kamu belum mengantuk sayang?
sudah larut malam. Ayo lekas tidur?" Sahed mengusap lembut rambut Zahra.
"Bi, Zahra rindu sama ummi, bolehkan bi, Zahra tidur
dengan memeluk foto umi?"
"Iya boleh sayang, abi ambilkan sebentar ya?"
Sahed mengambil foto istrinya yang tertempel ditembok, dia tersenyum dan
berjalan cepat menuju tempat tidur Zahra.
"Terimakasih abi, zahra mau tidur dulu ya, eh bi zahra
minta satu kertas angsa putih itu, untuk ummi? hehehe..." permintaan manja
yang menambah sayang, gemas dan sukar untuk ditinggalkan, menjadi rekaman
terindah dalam kenangan.Sahed mengambil satu angsa.
"Abi keluar sebentar ya sayang, abi mau shalat
hajat, abi perlu wudhu?"
"Iya Bi, doakan Zahra juga Ummi ya? eh abi..?"
Zahra memposisikan duduk dan zahra mencium kening ayahnya dan sebuah pelukan
yang cukup lama sampai akhirnya zahra tertidur dipangkuan ayahnya. Sahed
membaringkan putrinya yang lucu, menyelimutinya dengan selimut satu-satunya
yang ada dirumah. Sekilas Sahed memandang foto istrinnya disamping zahra.
"Lihatlah anak kita, Zahra semakin lucu dan semakin tumbuh besar, semakin
pintar, selamat istirahat cantik." Sahed menyudahi dengan berbicara
sendiri.
Sahed bergegas untuk berwudhu, ditempat itu jarang sekali
tempat tinggal yang difasilitasi dengan kamar mandi atau untuk MCK, dia
bergegas keluar rumah menuju masjid yang kebetulan tidak begitu jauh dari
rumahnya. Malam itu terlihat sangat merdu, kegembiraan dan kebahagiaan terlihat
jelas dari setiap rumah yang dia lewati, malam tahun baru islam, tepat tanggal
1 Hijriah, Sahed tersenyum. Ditengah wudhu dia didengarkan dengan deruan
pesawat F16 merajai langit malam diatas palestina. Sahed terbelalak kaget dan
dia terjebak dalam ketidak berdayaan untuk menghadapi tirani yang membelit
kasar digaris hidupnya, tubuhnya yang bidang gagah besar terlontar tidak
berdaya, yang tersisa dalam rekaman adalah suara ledakan besar memekak telinga
dan cahaya putih ditutup dengan bayangan hitam tangkapan kedua matanya, dia
tahu kebahagiaannya hancur seketika itu, cerita dengan zahrapun masih samar
kira-kira.
Dimana Zahra kecil tengah tertidur lelap, yang disiangnya
merajut cerita dengan ayah tentang angsa-angsa kertas, tentang harapan-harapan,
tentang ulang tahunnya yang ke enam, tentang keinginan Zahra belajar Al-Qur'an
dan menambah hafalannya, tentang kemanusiaan dalam hitungan damai, tentang kain
hijau yang ingin zahra hadiahkan untuk ayahnya yang belum tersampai, tentang
kemerduan setiap keluarga dihari besarnya. Sahed berhasil diselamatkan tapi dia
hilang ingatan, kakinya lumpuh dan tangannya entah. Rumah Sahed tinggalah
puing, tepat dimana para pemegang tirani itu melepaskan terornya. Bom itu
merebut zahra, bom itu melumpuhkan Sahed, bom itu menumbuhkan benci, Aku benci
perang!!!
Selamat Jalan Zahra, ini kertas angsa putih Aku hadirkan
dalam kamarku, untukmu, untuk Ayahmu dan Ibumu, untuk semua kemanusiaan dibawah
jajahan. Dari kalianlah aku belajar arti damai.
Kairo, tentang Lintang. 20 November 2012. (Sebuah Fiksi
untuk Revolusi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar