Cari Blog Ini

Derana Awal Tahun


"Matanya membanyu, sulung tegarnya hancur, suara paraunya belum juga mengendur, untuk sebuah nada saja sukar ditutur kelompang, menyelingkupi raut-raut taat." lelantun klasik menggumam, seklasik musik Vivaldy. saat itu tengah malam, matanya tampak renyah terbuka.

"Bagaimana caramu? kamu mampu mengsucikan sendu menjadi berat, memanen suasana selaras kamu mampu dan agar tidakpun kamu bisa, kamu suara diatas suara la?" Aku mengutarakan tanya, Viola menoleh.

"....." Viola diam, berubah menatapku kaku.

"Lentum meriam bisa kau kalahkan, keras hatipun kau leburkan, nada tegas gampang untuk kau sajikan dan kenapa diam? dimana jawaban dari pertanyaan yang aku Tuankan untukmu?" Aku mendekat, serekat tulisan dengan pembaca, viola disamping kiriku. "Ayolah?" semakin dalam kutatap. "Aku ingin belajar itu, ku mohon." Viola tersenyum, menatapku dan mengelus rambutku yang gelombang, merubah suasana gersang membasah.


"Kenapa, kamu ingin menjadi kata dalam kalimatku?" Jawabnya mengambung hati, aku disajikan dengan telaga diatas bukit, penuh tenang, Aku tersenyum dan mengangguk. Jarinya hangat melekat didaun telingaku.

"ini surga." Batinku sumringah.

"Ingatkah beberapa hari yang lalu kamu membicarakan tentang beberapa pelajaran hidup dari sebuah perlawanan, Ahimsa kamu suguhkan untukku?"

"Oh iya, aku ingat la? ajaran Mahatma gandhi, yang berasal dari negara itu, Ahimsa itu ajaran kedamaian, tanpa ada kata bunuh membunuh, tanpa kekerasan dan anti imperialis, Ada apa cantik?"

"Sudah baca berita, malam tadi di palestina terjadi penggempuran rudal oleh israel, apa kamu ceritakan hal serupa kepada tentara-tentara pembunuh itu tentang ahimsa seperti kamu ceritakan kepadaku?"

"Sudah aku baca berita itu,  8 orang palestina meninggal dan 40-an orang luka-luka, sudah aku doakan untuk mereka. Iya, sesegera aku ceritakan kemereka tentang ahimsa, Islam dan lain sebagainya, semoga mereka benar-benar belum terputus saraf welas asih dan tamak dengan damai, kamu?"

"Iya, Malam ini aku bernyanyi untuk mereka, ditemani kamu dan malam sesendu ini, malam yang sebentar lagi runtuh." Aku memindahkan tangan viola ke dada bidangku, aku coba untuk rekatkan dirinya dengan detak jantungku. "Detakmu begitu kuat, kamu baik-baik saja kan?" tukas  viola dengan dahi melipat, khawatirnya serius.

"Viola, Aku saat ini meredam amarah, tentang kemanusiaan yang semakin lama meradang kuasa, Aku ingin disini, berbagi sepertimu, mendapat yang indah dengan syukur, merajai masalah dengan lapang sabar." Dengan tatapan sama aku mencoba merajah suasana untuk Viola.

"Iya, Aku paham dengan itu, karena itulah aku memilihmu." Viola berubah merengkuh tubuhku erat, kemesraan yang mencemburukan malam, malam tidak bisa berpelukan dengan siang, sedangkan aku dan viola, entah malam dan siang selalu bersama. Sedangkan ditepat itu kepekaan viola kembali menjadi ratu untuk dilayani oleh rajanya, aku bersading menjadi sandar peka, ini segunung kenikmatan yang beragam, tentang viola untukku. Arogansi dalam kepemimpinan negara itu semakin membuat mata indah viola berkaca-kaca, ketidak kuasaanku enggan menjauh dari dirinya, hatinya selembut itu, dan apakah viola itu adalah kedamaian untukku saja atau untuk dunia, "aku yakin dunia memiliki jiwamu la?" batinku kembali berdoa. Air matanya hangat, menyatu dengan leherku, viola menangis kucium rambutnya dan kubisikkan beberapa kalimat Tuhan ditelinganya  sebelah kanan. Debas nafasnya cepat, kalutnya terundang hadir.
"Sial perang itu membuat sedih viola, kurang ajar." gerutu batinku muncul mengutuk.

"Nanti aku buatkan catatan tentang dekriminalisasi, bantu aku menyebar tulisan itu viola, dunia perlu disadarkan." Sembari aku ajak berbaring, menghapus air matanya dengan kedua ibu jariku. Dia menatapku dan memegang kedua pipiku diapun mencium bibirku, hangat.

Kami berbaring, Viola berbantal bahuku, tangan kananku merengkuh tubuh viola dan aku bercerita tentang hal-hal penenang hatinya. Tangannya mengelus-elus dadaku, dia menghentikan debarku. "Terimakasih cantik." ucapku mengundang senyum dengan hidungnya yang memerah, tajam sudah gelak tawa, dia malu dan mencubitku.

"Aku mau buatkan kopi kental untukmu." Viola berbisik dan beranjak dari tempatku. Aku berisyarat mengangguk cepat, tersenyum dan aku berpindah duduk diruang depan. lima menit berlalu memejamkan mata sejenak wangi kopinya menggerakkan sarafku.
"Viola, wangi sekali kopimu, terimakasih ya?" Aku mencumbu kopi kental darinya, terlihat dia memantulkan remote televisi, tepat didepan kami.

Aku tersengal, disajikan berita tentang israel meluncurkan 200 rudalnya ke gaza beberapa jam yang lalu. Aku letakkan kopi diatas meja, viola kembali memelukku, Kami berdua mengutuk serangan itu, disarat tahun baru hijriah seperti ini, dimana orang-orang merajut bahagia, berkumpul dengan keluarga, seperti aku berkumpul dengan viola, memasak bersama, menikmati kedamaian suasana dengan kopi, bercumbu mesra dan tentara itu menghancurkan semuanya. Aku tidak bisa menikmati kopiku, aku tidak menikmati tulisanku, aku tidak mendapati senyum panjang Violaku, pemimpin arogan dan tentara itu merebut bahagia dariku.

Nada-nada minor diawal tahun. Derana Palestina, derana Srilanka, derana para korban kekerasan diseluruh dunia, deritaku dan viola dikecup hidup.

Kairo, 16 November 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar